21.2 C
Indonesia

Dugaan Korupsi Yang Menyeret Mantan Dirut Kementerian ESDM dan ANTAM Belum Terbukti

Must read

JAKARTA –  Belum ada bukti yang menyatakan bahwa mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin bersalah dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penambangan ilegal di Sulawesi Utara.

Arie Nobelta Kaban, salah satu pengacara untuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan bahwa permasalahan yang melibatkan Kementerian ESDM dan penambangan ilegal adalah dua masalah berbeda dan tidak saling berhubungan.

“Faktanya itu, di BAP, mereka ini tidak saling mengenal … dan ini dua masalah yang berbeda dan satu sama lainnya tidak saling berhubungan,” katanya ketika ditemui tim The Editor di Jakarta, Selasa (9/1).

Baca Juga:

Dijelaskan Arie, semua ini berawal dari terungkapnya penambangan ilegal di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Diketahui, PT Antam menjalin kerja sama operasional (KSO) dengan sejumlah perusahaan, termasuk PT Lawu Agung Mining dan beberapa perusahaan daerah, untuk melakukan penambangan ore nikel di WIUP PT ANTAM.

Akan tetapi, hasil penambangan berdasarkan KSO tersebut terdeteksi tidak diserahkan ke PT Antam yang tidak lain adalah badan usaha milik negara (BUMN).

“Harusnya, dia melakukan kegiatan penambangan karena dia memang dikontrak untuk mengambil nikel di wilayah IUP-nya Antam,” kata Arie.

“Tetapi faktanya, menurut JPU, hasil kegiatan mereka itu tidak diserahkan ke Antam, tapi dijual sendiri,” tambahnya.

Dengan perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki izin penjualan nikel, mereka akhirnya ‘meminjam’ surat izin jual dari perusahaan lain, yaitu PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) dan PT Tristaco.

Akibat kegiatan itu, negara disebut mengalami kerugian sebesar Rp2,3 triliun.

Adapun kaitannya dengan Kementerian ESDM sejatinya terletak pada alur perizinan yang diberikan kepada para perusahaan, termasuk PT KKP dan PT Tristaco.

Alur pemberian izin kepada dua perusahaan tersebut dipertanyakan kesesuaiannya dengan prosedur standar operasional yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM sendiri.

“Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata banyak mungkin hal-hal yang nggak sesuai. Salah satu itu, mengenai, harus ada rapat pleno,” kata Arie.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pihak kementerian memang tidak menjalankan rapat pleno sesuai dengan prosedur pemberian izin yang tercantum dalam Keputusan Menteri No. 1806 Tahun 2018.

Alasannya, ada perubahan undang-undang (UU), dari UU No. 4 Tahun 2009 menjadi UU No. 3 Tahun 2020.

Perubahan UU tersebut membuat kegiatan evaluasi rencana kegiatan dan anggaran biaya (RKAB) setiap perusahaan sebelum pemberian izin dilimpahkan dari daerah ke pusat.

Dengan luasnya cakupan tugas yang harus dikerjakan, Kementerian ESDM menilai tidak akan ada cukup waktu untuk melakukan rapat pleno. Mereka pun menghilangkan tahapan tersebut.

“Itu yang dipersalahkan oleh Jaksa Penuntut Umum, kenapa kalian ini tidak melakukan evaluasi sesuai dengan peraturan pemerintah tadi, … Kepmen 1806 Tahun 2018? Itu yang dianggap mereka itu melakukan perbuatan mal-hukum,” jelasnya.

Mengenai jumlah kerugian negara sendiri, Arie menyebut angka itu berasal dari “perhitungan yang sederhana”.

Yaitu dari total penjualan nikel PT KKP dan PT Tristaco selama tahun 2022, yang dianggap seluruhnya berasal dari penambangan ilegal di WIUP PT Antam.

“Padahal, fakta sebenarnya, dari keterangan di BAP itu, KKP itu sendiri dia juga melakukan kegiatan produksi juga, ada hasil produksinya juga,” katanya.

Arie mengatakan, proses persidangan saat ini memasuki tahap pembuktian. Dalam tahap ini, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi untuk membuktikan dakwaan.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru