JAKARTA – Pengalaman RS (34) dan NN (29) tampaknya perlu menjadi pelajaran bagi setiap turis agar selalu berhati-hati berwisata ke daerah yang populer.
Pasalnya, bagi dua turis asal Jakarta ini, Banyuwangi yang sudah banyak dibicarakan di media massa dan media sosial pun ternyata tidak memiliki sistem transportasi yang baik dan ramah.
Dari penuturan mereka saat berwisata ke Banyuwangi di akhir Desember 2023 lalu, keduanya mendapat sambutan yang tidak menyenangkan saat tiba di Stasiun Ketapang.
Disana, keduanya yang tengah menanti kedatangan angkutan motor online, Grab dihadang oleh pengemudi ojek yang tengah mangkal di sana.
“Grab aku nggak boleh masuk karena opang-nya (ojek pengkalannya) galak banget. Jadi jalan lumayan jauh keluar buat naik grabcarnya,” kata RS yang mengaku sudah menanti sejak tahun 2017 untuk berlibur ke Banyuwangi tersebut kepada The Editor pada Senin (26/8/2024).
Pengalaman pahit juga dialami oleh NN, teman seperjalanan RS saat ke Banyuwangi ini juga menilai bila Banyuwangi kurang begitu aman dijalani sebagai turis karena penyewaan motor masih sangat sulit.
“Angkutan umum perlu dipermudah, terutama sekitaran stasiun. Penyewaan motor juga perlu diperbanyak dan dijamin keamanannya agar semakin banyak yang berani buka usaha ini, karena disana sangat susah dapat sewa motor,” tandasnya.
KOTA WISATA YANG MINIM TRANSPORTASI PUBLIK
Banyuwangi, kota sejuta wisata yang saat ini terus berbenah untuk memajukan sistem pariwisata mereka menjadi salah satu kota di Indonesia yang mendapat sorotan dari pemerintah.
Bagaimana tidak, dari era Bupati Abdullah Azwar Anas hingga digantikan oleh istrinya Ipuk Fiestiandani, penataan wajah Kabupaten dengan populasi masyarakat sebanyak 1,74 juta orang ini terus dilakukan. Jumlah ini dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024 ini.
Promosi besar-besaran atas pariwisata tentu berbanding lurus dengan peningkatan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) masyarakat dimana kepemilikan atas kendaraan toda dua atau motor di Banyuwangi mencapai angka 401.046 unit di tahun 2023. Angka ini sempat menurun bila dibandingkan dengan tahun 2022 yang mencapai 473.461 unit.
Meski demikian, penataan akan sarana transportasi publik di Kabupaten Banyuwangi tampaknya masih belum mendapat perhatian dari Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani.
“Selama disana (Banyuwangi) angkot (angkutan umum) jarang ada, paling yang sering terlihat di jalan utama ke arah pelabuhan apa dan nggak tahu rutenya bagaimana. Tapi bisa dibilang sulit untuk angkutan umumnya, nggak sebanyak di Jakarta atau daerah wisata lainnya,” ungkap Ruth.
TIDAK PILIH PEJABAT TANPA VISI DAN MISI MEMBANGUN TRANSPORTASI PUBLIK?
Hal ini dibenarkan oleh Pengamat transportasi dan Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno.
Saat berbincang dengan The Editor, Djoko mengatakan bila Banyuwangi adalah salah satu wilayah yang perkembangan transportasinya sangat minim.
“Pembangunan sistem transportasi Banyuwangi terjadi kemunduran karena Banyuwangi tidak punya program intensif untuk angkutan umum,” ungkapnya.
Banyuwangi, lanjutnya, hanya menyediakan program angkutan kota (angkot) gratis bagi anak sekolah dan angkutan gratis ke destinasi wisata kepada turis dengan Damri.
Namun, Djoko mempertanyakan program tersebut sebenarnya ditujukan untuk siapa karena masyarakat Banyuwangi seharusnya dapat menikmati sarana transportasi yang sama dengan para turis yang berwisata ke sana.
“Angkutan wisata kan beda, buatlah publik transport sekalian buat wisata,” kata Djoko lagi.
Sejauh pengamatan Djoko, Bupati Ipuk sedari awal menjabat tidak memiliki visi dan misi untuk membangunan sistem transportasi publik untuk kota Banyuwangi.
“Jangan dipilih lagi kepala daerah yang tidak punya visi dan misi membangun sistem transportasi publik,” katanya.
Pasalnya, sejauh ini, Djoko tidak menemukan permintaan penambahan dana dari Pemda Banyuwangi terkait pembangunan sarana transportasi publik baik itu ke pemerintah daerah yaitu Gubernur Jawa Timur dan Pemerintah Pusat, dalam hal ini kementerian Perhubungan dan Kementerian Dalam Negeri.
“Padahal kalau kepala daerah meminta dana untuk membangun transportasi publik maka akan diberi. Hal itu saya sudah selidiki ke Dinas Perhubungan Jawa Timur dan Kemenhub serta Kemendagri,” kata Djoko lagi.