JAKARTA – Tidak ada kata lelah untuk berkarya, tidak ada juga penolakan dalam menjawab panggilan jiwa.
Sekiranya itu yang diterapkan oleh Inanike Agusta, seorang pramugari yang juga pelukis di antara landing dan take off-nya.
Berbincang dengan The Editor beberapa waktu lalu, wanita yang akrab dipanggil Ina itu mengaku telah bersentuhan dengan dunia seni jauh sebelum menyentuh gumpalan awan di atas sana.
Lahir di keluarga seniman membuatnya terbiasa menggoreskan berbagai macam warna, menciptakan dunianya sendiri hingga menghadirkan interpretasi atas sesuatu yang telah eksis.
Dan “panggilan jiwa” itu mulai ditanggapinya dengan serius sejak 2015 lalu, atau lima tahun setelah melalang buana ke segala penjuru dunia.
“Mulai menekuni ini juga [karena] ada karya yang terjual. Ada senior di dunia seni rupa yang mendukung, ada prospek katanya,” jelas Ina lewat sambungan telepon.
Mulai dari melukis bunga, ke pemandangan yang mencuri perhatian di sekitarnya, hingga tempat-tempat ikonis di sejumlah negara yang disambanginya.
Ina merekam semuanya dengan baik di memori sebelum menuangkannya lewat tekstur ekspresionis ke kanvas-kanvas yang telah menunggunya dengan tenang di rumah atau di tumpukan barang yang ia bawa terbang.
Yup! Ia tak begitu saja melupakan panggilan jiwanya begitu panggilan mengudara juga disuarakan. Keduanya ia sanggupi dengan serius dalam kadar profesionalitasnya masing-masing.
“Kalau lagi off pramugari, saya melukis. Kalau bertugas pun saya bawa kanvas dan cat. Sembari istirahat, saya pergi ke luar lalu lanjut melukis,” ungkap Ina.
“Mediumnya kanvas, cat minyak-akrilik. Kalau lagi bertugas bawa cat yang aman untuk penerbangan, yaitu akrilik,” tambahnya.
Selain menajamkan indera untuk mencari inspirasi melukis, Ina juga sering mengunjungi berbagai galeri seni dan museum terkenal dunia.
Di sana, ia memperkaya pengetahuan keseniannya dengan berguru pada lukisan-lukisan para maestro yang terpajang dengan indah.
Seniman yang disukainya sendiri adalah Van Gogh, Claude Monet, dan Affandi untuk seniman yang berasal dari Indonesia.
Dari semua kesibukan itu, tak terhitung berapa jumlah karya yang telah Ina ciptakan–namun ia yakin angkanya telah mencapai puluhan.
Beberapa di antaranya telah terjual, masih dipajang di pameran-pameran, dipamerkan di galeri, dan sisanya menghiasi kediamannya sendiri.
Untuk karyanya yang dapat dilihat publik, dapat dilihat di pameran seni yang tengah berlangsung di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, sampai Minggu (26/3) nanti.
Ina juga berencana segera menyapa publik lagi lewat pameran tunggalnya yang diadakan tahun ini.
Sementara belum banyak yang bisa ia bagikan mengenai waktu dan tempat, ia mengatakan pameran itu tidak akan hanya menghadirkan karya seni lukisnya, melainkan juga seni instalasinya.
Sebagai informasi, seni instalasi pernah ia jajal untuk dipamerkan di Perpustakaan Nasional pada November lalu.
Saat itu, ia mengangkat isu krisis pangan dunia di tengah pandemi Covid-19 lewat karya seni instalasi berbahan wajan sebesar 4 x 2,5 meter.
“Pada dasarnya saya suka dengan bahan dasar metal. Saya waktu itu memilih tema krisis pangan dunia. Waktu itu lagi cetar tentang krisis pangan dunia, jadi saya angkat itu, berbarengan dengan Covid-19,” jelasnya.
Meskipun harus “memutar otak”, Ina mengaku tidak kapok dan bersikukuh untuk tetap menghadirkan seni instalasi di pameran tunggalnya nanti.
Mengenai ‘dua kehidupan’ yang dijalaninya, Ina menyarankan kepada siapa pun yang juga ingin mencobanya untuk harus segera memulainya.
“Jangan dipikirin aja, itu nggak akan mulai. Mulai aja, pakai media apa pun, nggak masalah. Tidak harus media yang mahal. Bahkan pakai kardus bekas pun bisa,” tuturnya.
“Intinya harus dikerjakan, karena kalau enggak, yang ada pusing sendiri. Dan learning by doing. Berkesenian itu bisa dilakukan kapan saja, tidak harus menunggu waktu khusus atau bagaimana,” pungkasnya.