JAKARTA – Perekonomian Indonesia akan meningkat bila lembaga riset negara dibangun dengan cara yang sehat dan terintegrasi.
Demikian dikatakan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira saat berbincang dengan redaksi The Editor, Rabu (21/4).
“Fungsi kementerian riset juga sebagai linkage antara kebutuhan industri dengan hasil inovasi peneliti,” ujarnya.
Bila dibangun secara terorganisir, maka anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai para peneliti muda Indonesia juga lebih ditelurusi dan diketahui tujuannya.
“Secara dana lebih tergorganisir dibandingkan riset tersebar dan terfragmentasi,” jelasnya lagi.
Perlu diketahui, lanjutnya, saat ini hanya terdapat 56.160 orang peneliti di seluruh Indonesia. Jadi, 216 peneliti melayani 1 juta penduduk Indonesia. Jumlah ini dianggap tidak sebanding dengan Malaysia yang menempatkan 2.000 peneliti untuk melayani 1 juta warganya.
Bhima juga mengkritisi minimnya anggaran belanja pemerintah terhadap peneliti. Karena selama ini dana sebesar Rp35 miliar ini hanya disebar kepada seluruh peneliti yang tersebar di kementerian dan lembaga.
Padahal, sebagai negara besar, Indonesia membutuhkan banyak peneliti di sektor-sektor yang memiliki nilai tambah seperti teknologi, kesehatan dan industri skala rumahan.
Dari data yang dilansir INDEF, diketahui bahwa Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara paling rendah jumlah penelitinya. Bahkan Indonesia kalah jauh dibandingkan Vietnam yang menempatkan 707 peneliti untuk melayani tiap 1 juta penduduknya.
Setelah Vietnam, negara lain yang memiliki sedikit peneliti adalah China, Thailand dan Malaysia. Sementara itu Korea Selatan menempati urutan pertama sebagai negara yang paling banyak memiliki peneliti. Dimana 7980 peneliti diminta untu melayani tiap 1 juta warganya.
Urutan kedua dunia yang memiliki jumlah peneliti terbanyak adalah Jepang dan diurutan ketiga adalah Jerman.