MEDAN, INDONESIA – Dalam beberapa minggu terakhir, sebuah cerita yang menyerupai salah satu dari banyak sinetron populer di Indonesia telah beredar di media sosial negara itu.
Dalam kisah tersebut, digambarkan bila seorang wanita dan suaminya yang setia bercerai, dan si pria setuju untuk melunasi hutangnya sambil memberikan hak asuh atas ketiga anak mereka kepada istrinya.
Tetapi setelah mendapati seorang tetangga yang kaya merayu wanita itu, mantan suaminya sangat marah sehingga dia mengambil kembali salah satu anaknya.
Sementara dua anaknya yang lain menuntut agar ayah mereka mendisiplinkan ibu mereka.
Namun kisah misoginis yang mendalam, dengan penggambaran kekerasan dalam rumah tangga, bukanlah sinetron.
Karena pengambaran di atas ternyata adalah pesan pro-Rusia, dimana Rusia berperan sebagai pria yang dirugikan dan Ukraina berperan sebagai mantan istri.
Sementara itu tetangga yang kaya diibaratkan adalah Amerika Serikat. Dan penggambaran tiga orang anak adalah Krimea, Donetsk dan Luhansk.
Kisah ini diperkirakan pertama kali muncul di aplikasi perpesanan China Weibo beberapa hari setelah invasi Rusia ke Ukraina.

Yang mengejutkan beberapa orang, sambutan antusiasnya di Indonesia melalui grup Whatsapp dan platform media sosial lainnya, termasuk Twitter dan Facebook, menunjukkan peningkatan pro – Sikap atas Rusia di antara orang Indonesia.
“Media sosial pro-Rusia dengan cepat membingkai perang untuk mendukung Rusia,” Alif Satria, seorang peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Indonesia, mengatakan kepada Al Jazeera pada Sabtu (19/3).
“Menggunakan meme dan citra yang menarik bagi orang Indonesia, mereka menggambarkan Rusia sebagai suami yang berbakti yang ingin memenangkan kembali Ukraina. Dan seorang mantan istri yang tidak tahu berterima kasih yang memihak preman Eropa telah menyandera anak-anak mereka, yakni etnis Rusia,” tambahnya.
Akibat pencitraan tersebut, dalam tiga pekan sejak perang dimulai, muncul perpecahan antara sikap resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.
Dan, lewat tayangan mirip sinetron itu juga, media sosial dan para komentator di media massa online jadi lebih bersimpati kepada Rusia, bahkan tak ragu untuk langsung mendukung.
Indonesia sendiri memilih mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang mengutuk agresi Rusia serta keputusan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dengan membentuk komisi independen untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Presiden Joko Widodo juga menyerukan gencatan senjata dalam wawancara dengan Nikkei Asia pada 9 Maret 2022 lalu.
Menurut Yohanes Sulaiman, dosen hubungan internasional Universitas Jenderal Achmad Yani Bandung, sebagian persoalannya terletak pada ketidaksukaan sebagian orang Indonesia terhadap Amerika Serikat.
Padahal sebelumnya Indonesia mungkin telah memprotes sikap Rusia yang memerangi Chechnya dan Suriah.
Chechnya sendiri adalah salah satu republik dalam Federasi Rusia yang terletak di sebelah utara Pegunungan Kaukasus dan berpenduduk mayoritas beragama Islam.
Sebagian besar ketidakpercayaan Indonesia terhadap Amerika Serikat berasal dari periode setelah peristiwa 9/11 dan tanggapan Indonesia terhadap ‘Perang Melawan Teror’ AS di negara mayoritas Muslim seperti Iraq.
“[Orang Indonesia Pro-Rusia] tidak menyukai dan mempercayai Amerika Serikat. Orang-orang melihat AS menyerang Afghanistan dan Irak di masa lalu karena alasan yang dianggap dibuat-buat seperti konspirasi 9/11 dan kurangnya Senjata Pemusnah Massal [digunakan sebagai dalih untuk perang di Irak],” katanya.
“Ini berdampak pada orang Indonesia (yang Islam) dengan mempertanyakan kredibilitas sumber berita, dalam arti media massa AS. Banyak yang menyatakan bahwa mereka tidak bisa begitu saja menerima berita dari AS tanpa membaca sisi lain – tetapi akar dari ini adalah ketidakpercayaan mereka terhadap AS secara umum,” ungkapnya lagi.
Survei Pew Research Center di Washington, DC, menunjukkan bahwa sikap skeptis terhadap AS di Indonesia cukup besar dibandingkan dengan banyak negara lain di Asia Pasifik.
Studi Pew yang dirilis pada Februari 2020 menunjukkan hanya 42% orang Indonesia yang berpandangan baik tentang AS. survei ini terendah dari enam negara yang disurvei.

Daya Pikat Pria Macho
Orang Indonesia juga cenderung melihat situasi di Ukraina melalui prisma konflik lain.
Lebih dari 90 persen dari 270 juta penduduk Indonesia adalah Muslim, dan dukungan untuk hak-hak Palestina secara tradisional tinggi. Negara ini tidak memiliki hubungan formal dengan Israel.
“Ada masalah standar ganda dan whataboutisme di mana Israel meneror Palestina, jadi mengapa tidak ada masalah dengan itu, tetapi Ukraina adalah masalah?” tanya Sulaiman.
Di sisi lain, Satria memperingatkan bahwa dukungan di sosial media untuk Rusia di Indonesia tetap bersifat anekdot dan belum ada “studi atau upaya apa pun untuk benar-benar memahami dan memahami seberapa luas sentimen ini di masyarakat Indonesia.”
Rusia terkenal dengan kegiatan kampanye disinformasi secara online dan peneliti menemukan data bahwa Badan Penelitian Internet yang berbasis di St Petersburg bekerja untuk memanipulasi hasil pemilu 2016 di Amerika Serikat.
Negara ini juga telah berusaha untuk meningkatkan reputasinya di nusantara dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Radityo Dharmaputra, dosen di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, saat ini Moskow tengah menggambarkan Rusia sebagai teman dan sekutu bagi Islam.
Menulis di blog untuk Universitas Melbourne, Dharmaputra mencatat Rusia telah mendirikan pusat sains dan budaya di Jakarta, mendirikan situs Russia Beyond the Headlines versi bahasa Indonesia dan memberikan beasiswa bagi mahasiswa Indonesia serta pendanaan untuk pusat-pusat bahasa Rusia di universitas.
“Tidak adanya outlet berita yang kredibel dengan sumber daya untuk mengirim jurnalis investigasi mereka sendiri ke zona perang dan kurangnya spesialis Rusia dan Eropa Timur di kalangan akademisi Indonesia telah menciptakan kekosongan informasi yang kredibel, analisis informasi, dan kejelasan sudut pandang perang Rusia melawan Ukraina di Indonesia,” tulisnya.
“Ini telah diisi oleh perspektif laten anti-Amerika dan anti-Barat, idealisasi para pemimpin kuat seperti Putin, argumen agama yang menunjukkan Rusia adalah sekutu Islam, dan diplomasi dan propaganda publik pro-Rusia yang meluas. Literasi digital yang buruk di Indonesia membuat perspektif pro-Rusia relatif mudah dipegang,” ungkapnya.
Indonesia sendiri tidak asing dengan orang-orang kuat seperti presiden Rusia – seorang pria yang dikenal dengan kegemarannya untuk difoto agar terlihat macho.
Mendiang Presiden Soeharto, mantan jenderal, memerintah Indonesia dengan tangan besi selama lebih dari 30 tahun hingga akhir 1990-an dan banyak politisi Indonesia jaman dulu dan sekarang memiliki ikatan dengan militer atau berasal dari keluarga elit politik.
“Popularitas yang tinggi dari seorang tokoh seperti Putin, menurut saya, berbicara tentang budaya politik dan sejarah otoriter Indonesia yang tidak liberal dan militeristik,” Ian Wilson, seorang dosen studi politik dan keamanan di Universitas Murdoch di Perth, Australia, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Orang kuat otoriter telah lama dianggap baik, tegas dan teguh, dengan agresi dan penghinaan terhadap hak yang ditafsirkan secara positif sebagai tanda tekad. Patut diingat bahwa masih ada sentimentalitas yang signifikan bagi mantan diktator Soeharto.
“Orang kuat otoriter telah lama dianggap baik, tegas dan teguh, dengan agresi dan penghinaan terhadap hak yang ditafsirkan secara positif sebagai tanda tekad. Patut diingat bahwa masih ada sentimentalitas yang signifikan bagi mantan diktator Soeharto,” katanya.
“Mungkin juga bukan kebetulan bahwa tokoh politik populer dengan masa lalu militer dan citra kuat, seperti Prabowo Subianto [mantan calon presiden dan sekarang menteri pertahanan], kadang-kadang dibandingkan dengan Putin.” katanya lagi.
Sulaiman setuju bila disebut saat ini bagi banyak orang Indonesia yang menonton dari jauh, sosok seperti Putin lebih bisa diterima daripada Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy yang hanya mantan komedian yang memenangkan Dancing with the Stars versi Ukraina pada 2006.
Sementara Zelenskyy tetap berada di Ukraina dan telah menginspirasi banyak orang dengan pembaruan videonya untuk rakyat Ukraina dan pidato yang menggugah di parlemen barat, ini tidak serta-merta diterjemahkan dengan baik untuk penonton Indonesia.
“Dalam budaya politik Indonesia, ‘orang kuat’ memiliki ciri khas otokratis, demagogis, dan meremehkan proses demokrasi,” kata Wilson.
“Banyak yang melihat ini dalam diri Putin, tetapi tidak dalam sosok seperti Zelenskyy yang sering dicirikan dalam komentar sebagai ‘boneka’ kekuatan eksternal, meskipun kemunculannya sebagai pemimpin sejati di masa krisis.” ungkapnya.