YOGYAKARTA – Indonesian Presidential Studies (IPS) di tahun 2022 lalu menunjukkan bila tingkat kepercayaan masyarakat secara umum terhadap media massa masih lebih tinggi dibanding media sosial.
Mayoritas publik dalam survei tersebut sangat/cukup percaya pada media formal, TV, Radio dan Koran dan lebih percaya pada jenis media tersebut dibandingkan dengan media sosial.
Dosen dan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad mengatakan bila hasil survei menunjukan sebanyak 74,4 persen masyarakat masih percaya pada media formal, sementara tingkat kepercayaan pada media sosial sebesar 12,7 persen.
“Meskipun di sini perilaku masyarakat dalam mengakses media mainstream seringkali tidak secara rampung melalui platform-platform digital,” ungkapnya seperti dirilis dari UGM.ac.id di tahun 2023 lalu.
Survey ini, lanjut Nyarwi, muncul meski media saat ini dihadapkan tantangan-tantangan lain berupa munculnya raksasa digital.
Media, menurutnya, memang harus adaptif dengan perkembangan digital saat ini agar bisa berhasil baik secara ekonomi, politik dan sosial.
“Media memang harus adaptif, termasuk pekerja media juga harus adaptif terhadap perkembangan komunikasi-komunikasi digital hari ini. Adaptasi ini menentukan seberapa media akan survive baik secara ekonomi, politik maupun sosial,” paparnya.
Tuntutan semacam ini diakui Nyarwi tak mudah bagi media karena di tengah perkembangan platform digital dan media sosial, media tetap dituntut profesional dalam membuat cover boothside, melakukan verifikasi, mencerna dan menyaring informasi hingga menghasilkan sebuah sumber berita yang dipercaya (kredibel).
Termasuk juga menjalankan kinerjanya media diharapkan memegang prinsip sebagai pilar keempat demokrasi.
“Di tengah perkembangan yang terus terjadi, profesionalitas dan kapasitas kinerja dari organisasi media menjadi sesuatu yang sangat penting dikembangkan secara serius,” ucapnya.
INDEPENDEN TAPI BERPIHAK
Nyarwi mengatakan kondisi saat ini memperlihatkan banyak persoalan yang sedang dialami insan pers.
Terlebih menghadapi pemilu 2024, dimana pers dituntut terus independen karena intervensi mengancam keberadaannya.
Tidak hanya pemerintah, kepentingan bisnis, intervensi bisa juga datang dari kepentingan kelompok dan kepentingan individu (personal).
Meski demikian, Nyarwi mengatakan bila pers kapanpun harus independen.
Semangat independensi menururtnya penting mengingat sebagai pilar keempat demokrasi keberadaan pers sangat dibutuhkan di tengah kehidupan masyarakat.
“Bukan hanya sebagai watchdog yang berperan mengawasi, mengevaluasi dan mengingatkan kinerja, mengawasi dan memberi kritikan terhadap siapapun yang memimpin lembaga legislatif, eksekutif dan lembaga-lembaga yang terkait penegakan hukum. Tetapi media juga perlu mengangkat atau merespons isu yang berkembang di dalam masyarakat baik terkait ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan dan hal lain,” ujarnya.
Meski selalu dituntut independen, Nyarwi menilai media sebenarnya wajar memiliki orientasi tertentu atau keberpihakan selama orientasi atau keberpihakan tersebut masih dalam koridor kepentingan publik.
Artinya untuk kepentingan masyarakat, kinerja-kinerja media masih mengawal kepentingan publik.
Hal itu bisa dilakukan media entah dalam rangka mengkritisi atau bahkan memberikan masukan pada lingkar kekuasaan eksekutif, legislatif dan lembaga-lembaga penegak hukum.
“Mungkin bisa juga dengan mengingatkan masyarakat terkait beberapa hal yang krusial yang menjadi agenda publik, dimana masyarakat tidak menyadari secara penuh. Keberpihakan itu harus malah, tetapi yang perlu dijaga adalah profesionalitas dalam bekerja,” katanya.
Mengacu periode sebelumnya dalam konteks pemilu dan pilpres, Nyarwi melihat independensi media atau agenda setting media tidak lepas dari orientasi politik dari para pemiliknya.
Di sinilah, menurutnya, situasi kurang beruntung karena media-media mainstream yang besar yang cukup mayoritas dimiliki oleh orang-orang yang memiliki orientasi politik atau punya lembaga politik seperti partai politik.
Misalnya Media Grup dengan sang pemilik Surya Palloh, serta grup MNC milik Hary Tanoesoedibjo. Selain itu juga ada Aburizal Bakrie dengan media TV One dan Viva News.
Artinya peluang para pemilik mengintervensi terhadap agenda setting media cukup besar.
Peluang tersebut dianggap cukup besar terjadi, misalnya di tengah situasi politik yang landscapenya polarisasi seperti beberapa periode yang lalu.
Karena menurut Nyarwi tanpa polarisasi politik sudah terlihat orientasi keberpihakan atau dukungan baik secara tertutup maupun terbuka pada satu pihak.
Bahkan, sangat terlihat kecenderungan agenda setting media terhadap orientasi politik baik pada pemerintahan yang sedang berkuasa maupun capres-capres yang potensial bertarung.