JAKARTA – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) resmi menghapus tes baca, tulis, dan hitung (calistung) dari syarat masuk sekolah dasar (SD).
Alasannya, ada miskonsepsi tentang calistung yang tidak dapat lagi ditolerir, yang menempatkan kegiatan ini sebagai yang terpenting dalam pendidikan PAUD sehingga menimbulkan sejumlah konsekuensi.
Salah satu konsekuensinya, yang disebut “paling menakutkan”, adalah anak-anak dapat merasa kegiatan belajar tidak menyenangkan.
Jika pemikiran itu muncul pada usia dini, maka akan sulit untuk dihilangkan ke depannya.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim pada Selasa (28/3) lewat acara Peluncuran Merdeka Belajar Episode 24: Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan.
Dalam acara tersebut, Nadiem menegaskan bahwa kemampuan literasi dan numerasi memang harus dibangun sejak PAUD, namun dengan metodologi yang tepat dan menyenangkan.
“Bukan berarti calistung itu suatu topik yang tidak penting diajarkan di PAUD. Saya tidak mau ada salah pengertian di sini. Poinnya adalah ada miskonsepsi bahwa hanya calistung itu yang terpenting dan cara ngajarin calistungnya itu juga salah,” jelasnya.
Kesalahan itu, lanjutnya, muncul karena praktik mengedepankan calistung menjadi metode yang mengasosiasikan sekolah sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan.
Terlebih dengan keharusan para lulusan PAUD untuk menguasai calistung sebelum masuk SD seperti yang diterapkan selama ini.
Padahal, menurut Nadiem, pendidikan di PAUD seharusnya juga mengasah kemampuan peserta didik yang mencakup emosi, kemandirian, hingga kemampuan berinteraksi.
Untuk mengakhiri miskonsepsi ini, Kemendikbud Ristek menetapkan empat fokus pembelajaran PAUD dalam mempersiapkan anak sebelum masuk SD.
Pertama, proses belajar mengajar di tingkat PAUD dan di tingkat SD kelas awal harus selaras dan berkesinambungan demi transisi yang berjalan dengan mulus.
Kedua, satuan pendidikan jenjang PAUD memberikan hak kepada setiap anak untuk mendapatkan pengajaran dan pembinaan agar anak memperoleh kemampuan kognitif dan kemampuan holistik.
Contoh kemampuan holistik, disampaikan Nadiem, adalah kematangan emosi, kemandirian, dan kemampuan berinteraksi.
Ketiga, satuan pendidikan jenjang PAUD membangun kemampuan dasar literasi dan numerasi anak secara bertahap dan dengan cara yang menyenangkan.
Terakhir, penerapan “siap sekolah” sebagai proses yang perlu dihargai oleh satuan pendidikan dan orang tua.
Nadiem menegaskan bahwa setiap anak memiliki kemampuan, karakter, dan kesiapan masing-masing saat memasuki jenjang SD, sehingga tidak dapat disamaratakan dengan standar atau label-label tertentu.
“Siap sekolah adalah proses, bukan hasil. Bukan sekadar pemberian label antara anak yang sudah siap atau belum siap sekolah,” jelasnya.
Selain itu, Kemendikbud Ristek juga menetapkan tiga target yang harus dicapai oleh satuan pendidikan Indonesia.
Pertama, satuan pendidikan menghilangkan tes calistung dari Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada jenjang SD.
Target yang satu ini sejatinya juga berkaitan dengan keterbatasan sebagian anak yang tidak mendapatkan pendidikan di jenjang PAUD sehingga belum mengenal calistung.
“Sangat tidak tepat apabila anak diberikan syarat tes calistung untuk dapat mendapatkan layanan pendidikan dasar,” tutur Nadiem.
Kedua, satuan pendidikan menerapkan masa perkenalan bagi peserta didik baru selama dua minggu pertama.
Hal ini bertujuan agar anak dan orang tua dapat mengenal dengan baik lingkungan belajar anak sehingga tercipta rasa nyaman untuk belajar.
Terakhir, satuan pendidikan menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak, yaitu:
- mengenal nilai agama dan budi pekerti
- keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi
- kematangan emosi untuk kegiatan di lingkungan belajar
- kematangan kognitif untuk melakukan kegiatan belajar, seperti kepemilikan dasar literasi dan numerasi
- pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri
- pemaknaan terhadap belajar yang positif.
“Kemampuan fondasi tersebut dibangun secara kontinu dari PAUD hingga kelas dua pada jenjang pendidikan dasar,” jelas Nadiem.
“Untuk itu, standar kompetensi lulusan bagi PAUD tidak dirancang per usia, namun sebagai capaian yang perlu dicapai di akhir fase dan dapat dipenuhi hingga kelas dua pendidikan dasar, serta tidak ada evaluasi kelulusan untuk siswa PAUD,” pungkasnya.