JAKARTA – Menanggapi serangan Israel akhir-akhir ini kita diantara umat Kristiani sendiri mempunyai perbedaan-perbedaan pandangan, ada yang mendukung, membiarkan, menyesalkan dan bahkan ada yang berani mengutuk atau mengecam.
Bagaimana seharusnya kita menyikapinya?
Kalau kita mau sedikit cermat, telah terlihat ada banyak kecenderungan membawa Kekristenan pada nasionalisme Yahudi atau Zionis Kristen. Ini bisa jadi merupakan rancangan dari pemerintah Israel untuk menggalang simpati dari pihak-pihak lain terhadap perjuangan mereka merebut kembali tanah suci Yerusalem.
Misalnya, promosi tour Holy-Land dan hal-hal lain yang membangkitkan semangat Yudaisme juga dengan dipopulerkannya lagu-lagu, tari-tarian ala Yahudi dan nubuat-nubuat yang berkenaan dengan dibangunnya kembali Bait Allah di Yerusalem.
Daya tarik ide pembangunan Bait Allah di Yerusalem kelihatannya cukup berhasil memikat kalangan Kristiani untuk mendukung apapun usaha Israel merebut Yerusalem sepenuhnya. Namun sebaiknya kita mengingat lagi blunder yang telah dilakukan kalangan kita dengan adanya Perang Salib di Yerusalem pada masa lalu yang memakan waktu berabad-abad.
Maka, masihkah perlu kita mendukung usaha perebutan tanah dengan berdarah-darah?. Benarkah Allah yang penuh kasih itu merestui cara kekerasan ini?
Apakah esensi dari bangunan Bait Allah di Yerusalem bagi Kekristenan? Apakah Yesus Kristus secara fisik nanti pada saat kedatangan-Nya yang kedua, akan bertahta disana? Tidak! Lalu, apa perlunya kita mendukung perang mereka dan mengamini apapun yang mereka perbuat?
Andaikata Israel menang, menguasai sepenuhnya Yerusalem, dan kemudian berhasil membangun Bait Allah yang mereka idam-idamkan ini, bukankah mereka akan beribadah dengan caranya sendiri yaitu menurut cara nenek moyang mereka, dan mereka akan tetap melakukan korban bakaran yang dimana di dalam Kekristenan diimani sudah digenapi oleh Tuhan kita Yesus Kristus dengan kematian-Nya diatas kayu-salib?
Dengan demikian dalam konteks ibadah-pun kita akan senantiasa berlainan dengan orang-orang Yahudi (Rabinik). Agama Yahudi tidak akan menganggap Kekristenan adalah bagian dari Yudaisme, demikian juga Kekristenan bukan Yudaisme ataupun perlu dicampur-campurkan dengan Yudaisme. Anda dan saya kan tetap golongan goyim/the gentiles dimata mereka.
Atas nama kemanusiaan, kita seharusnya menyesalkan tindakan kekerasan dari kedua-belah pihak. Perang Israel-Palestina adalah perang yang sangat kompleks dan jangan hanya melihat Partai Hezbollah nya saja, atau kelompok Islam lain di Palestina. Jangan lupa, ada banyak orang Kristen di Palestina dan di Libanon.
Suatu keanehan jika kita membela-bela Israel dan melupakan saudara kita orang-orang Palestina yang sudah menjadi orang-orang percaya (Kristen). Terlebih dari itu atas nama kemanusiaan kita juga tidak perlu memandang agama yang dianut seseorang. Maka dalam perang perebutan wilayah ini sebaiknya kita tidak terseret pada isu agama dan ras.
Bagi kita, kalangan Kristiani tidak ada esensinya mendukung Israel menguasai Yerusalem sepenuhnya. Karena konteks Yerusalem kita bukanlah kota Yerusalem yang ada di Palestina itu, tetapi Yerusalem Baru sebagaimana tertulis dalam (Wahyu 14;1-5; 21:2).
Kekristenan tidak menganut hukum Yahudi, Tuhan Yesus Kristus telah memberi ajaran yang baru yang diibaratkan “Jika pipi kananmu ditampar beri juga pipi kirimu”. Hal tersebut bukan berarti Yesus mengajar jika ada kejahatan kita diamkan saja. Tetapi yang hendak ditekankan oleh Tuhan Yesus disini adalah lebih baik kita balas kejahatan itu dengan kebaikan, dari pada membalas dendam.
Jika kita terpaksa membela diri, maka jangan dilandasi dengan perasaan benci/balas dendam. Dalam ajaran ini Yesus hendak mengingatkan kita bahwa prinsip balas dendam seperti dalam Perjanjian Lama “lex talionis“, yaitu “mata ganti mata, gigi ganti gigi”, pada hakikatnya tidak akan menyelesaikan masalah. Terlebih lagi Yesus Kristus memberikan kita Hukum yang baru yang dikenal dengan Hukum-Kasih.
Yudaisme adalah akar Kekristenan, betul. Perjanjian Lama (TANAKH) menjadi bagian dalam Alkitab kita, betul. Namun jangan lupa orang Yahudi tidak menganggap Kekristenan itu kontinuitas dari Yudaisme. Terlebih mereka menolak Yesus Kristus sebagai Mesias (Almasih) dan mereka sekarang ini masih menanti-nantikan Mesias yang lain. Maka tidak seharusnya hal tersebut menjadikan iman kita condong kepada Nasionalisme Yahudi (zionist) secara fisik.
Iman Kekristenan menekankan hal-hal rohaniah bukan hal-hal fisik ataupun perang-perang secara fisik. Perang Israel-Palestina, bukan perang kita. Tidak ada alasan bagi kita untuk menjadi supporter salah satu pihak dengan alasan Palestina itu arab/muslim, ataupun menggunakan isu-isu Zionist! Pendek kata, tak perlu kita menjadi supporter salah satunya karena sentimen keagamaan.
Arti ‘Perang’ bagi umat Kristiani adalah yang jelas terulis dalam 2 Korintus 10:3-6 dan Efesus 6:10-17, kutipannya sbb :
Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak berjuang secara duniawi, karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. (2 Korintus 10:3-4).
Oleh:
Pengajar Kitab Ibrani asal Indonesia Rita Wahyu Wulandari. Selain sebagai penulis, Rita juga adalah seorang dosen di Biblical Hebrew Research Center – STT Ekumene dan Israel Bible Center Associate Lecturer in Biblical Studies.