THE EDITOR – Presiden Joko Widodo diminta untuk tidak sekedar menyederhanakan proses pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) karena proyek tersebut dianggap sarat dengan berbagai macam pelanggaran UU dan membohongi rakyat Indonesia.
Sebagaimana diketahui, saat membuka Rakornas baznas 2024 di Istana Negara IKN pada Rabu (5/10/2024), Presiden Jokowi mengatakan bila proyek IKN bukanlah ‘proyek presiden’, melainkan proyek yang disetujui oleh seluruh masyarakat Indonesia melalui keputusan rapat paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2022 lalu.
“Enak saja. Alasan ini tentu saja tidak bisa diterima. Jokowi tidak bisa cuci tangan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Jokowi harus bertanggung jawab,” kata Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan dalam keterangan yang diterima oleh The Editor pada Sabtu (5/10/2024).
“Permasalahan IKN tidak bisa disederhanakan menjadi “ini bukan proyek presiden. Tidak. Bukan itu masalahnya,” ungkapnya lagi.
Menurut Anthony, proyek IKN melawan hukum, melanggar undang-undang dan konstitusi yang dilakukan secara sengaja dan terencana.
“Yang menyedihkan, Jokowi melakukan perbuatan melawan hukum tersebut secara sengaja dan sangat terencana,” jelas Anthony.
“Artinya, Jokowi sangat sadar bahwa UU IKN yang disahkan dan ditandatanganinya, pada 15 Februari 2022, merupakan UU yang melanggar sejumlah UU dan Konstitusi,” tambahnya lagi.
APA SAJA YANG TELAH DILANGGAR OLEH PRESIDEN JOKOWI?
Menurut Anthony, hal pertama yang telah dilanggar oleh Presiden Jokowi adalah kesengajaan membentuk Pemerintah Daerah (baru) untuk Ibu Kota Negara dalam bentuk Otorita, yang merupakan bagian dari Pemerintah Pusat, setara dengan Kementerian atau Lembaga, tanpa ada DPR, di mana Kepala Daerah Otorita dinamakan Kepala Otorita, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Hal ini menurutnya telah melanggar Konstitusi Pasal 18 di mana daerah di Indonesia hanya bisa dalam bentuk Provinsi, Kabupaten, atau Kota, dengan masing-masing Daerah mempunyai DPRD, dengan masing-masing Kepala Daerah dinamakan Gubernur, Bupati atau Walikota, yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum.
“Jokowi secara sadar melanggar konsep Daerah seperti diatur di Konstitusi tersebut di atas, dengan menempatkan Daerah / Otorita secara langsung di bawah Presiden, yang notabene melanggar peraturan tentang otonomi daerah,” ungkapnya.
Kedua, lanjut Anthony, Jokowi melanggar proses pembentukan sebuah kota atau daerah, seperti diatur di dalam UU tentang Pemerintahan Daerah (UU No 23/2014), bahwa pembentukan daerah baru wajib melalui Pemekaran atau Penggabungan daerah, dan wajib mendapat persetujuan dari DPRD masing-masing daerah yang dimekarkan atau digabungkan.
“Tetapi, Jokowi tidak melaksanakan semua prosedur itu. Sebaliknya, Jokowi malah merebut alias aneksasi teritori (lahan) milik pemerintahan daerah (kabupaten penajam paser utara dan kabupaten kutai timur) di Kalimantan Timur menjadi milik Pemerintah Pusat, melalui konsep Otorita,” jelasnya.
Sebagai konsekuensi, masih kata Anthony, semua dana APBN yang dikeluarkan berdasarkan UU IKN yang tidak sah dan melanggar (UU dan) Konstitusi tersebut, juga menjadi tidak sah, dan masuk kategori penyimpangan APBN, dan Presiden Jokowi dianggap harus bertanggung jawab atas penyimpangan APBN tersebut.
Selain itu, Presiden Jokowi juga dianggap telah memanipulasi fakta, atau menipu rakyat Indonesia, dengan mengatakan, investor IKN sudah mengantri. Faktanya, investor swasta dan asing nol besar.
“Berdasarkan penjelasan di atas, sekali lagi ditegaskan, bahwa permasalahan utama IKN bukan permasalahan “IKN proyek siapa”,” kata Anthony.
“Tetapi, permasalahan IKN merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini, Jokowi dengan sengaja menciptakan proyek IKN dengan melanggar UU dan Konstitusi. Untuk itu, Jokowi wajib mempertanggunjawabkan perbuatannya yang melawan hukum tersebut di atas,” tandasnya.