24.7 C
Indonesia

Mengenal Tradisi Bakar Batu, Simbol Solidaritas Masyarakat Papua

Must read

PAPUA – Panitia Konsultasi Nasional (Konas) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) membuka penyelenggaraan Konas tahun ini dengan tradisi daerah tempat diselenggarakannya acara ini, Papua, yaitu tradisi bakar batu.

Kegiatan tersebut diselenggarakan di Jayapura Utara pada Selasa (23/8) pagi serta diikuti oleh panitia, para pengurus GMKI Pusat, para peserta yang merupakan perwakilan GMKI se-Indonesia, dan warga setempat.

Sekretaris Panitia Konas GMKI Tahun 2022 Christian Sohilait mengatakan bahwa budaya bakar batu adalah ciri khas budaya Pegunungan Papua.

Baca Juga:

Oleh sebab itu, pihaknya ingin memperkenalkan budaya tersebut yang ternyata disambut dengan baik oleh para peserta.

“Kita jelaskan dari bagaimana memanah babi, membersihkan, bakar batunya hingga masak. Dan peserta sendiri yang melakukannya dengan bantuan masyarakat setempat,” ungkapnya.

Ia berharap nantinya seluruh peserta dapat menceritakan keunikan budaya bakar batu yang menjadi kekayaan budaya nasional.

Sejalan dengan Christian, Ketua Umum Pusat GMKI Jefri Gultom pun mengapresiasi hadirnya kegiatan bakar batu di rangkaian acara Konas tahun ini.

Ia juga mengapresiasi kerja keras panitia dalam menghadirkan tari-tarian dan penanaman bibit pohon.

“Ini meningkatkan kesadaran kita agar kita tidak boleh menjauhi budaya. Karena budaya inilah yang menguatkan keberagaman dan perbedaan sehingga kita lebih sulit,” tuturnya.

Dilansir dari Kompas, tradisi bakar batu adalah tradisi milik Suku Dani di Pegunungan Tengah Papua. Mereka menyebutnya dengan nama lago lakwi.

Bakar baru juga dikenal di Wamena dengan nama kit oba isago. Di Paniai, tradisi ini disebut dengan nama mogo gapil.

Sementara itu, di masyarakat Papua pantai, acara ini dikenal dengan istilah barapen.

Tradisi ini berbentuk acara memasak bersama yang melibatkan banyak warga di satu tempat.

Oleh karena itu, tradisi ini kemudian menjadi simbol solidaritas yang kuat di antara warga dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.

Selain menjadi ajang silaturahmi, penyelenggaraan bakar batu juga bisa menjadi sambutan atas datangnya kabar bahagia, panggilan kepada prajurit untuk berperang dan pesta setelah selesai berperang, hingga media perdamaian antarkelompok yang berselisih.

Dalam sejarahnya, bagi masyarakat Pegunungan Tengah Papua, bakar batu adalah pesta daging babi.

Akan tetapi, kini bakar batu juga bisa dilakukan oleh masyarakat yang tidak mengonsumsi daging babi dengan menggantinya dengan daging ayam.

Komunitas muslim Papua yang berada di daerah Walesi Jayawijaya, misalnya, yang juga melaksanakan bakar batu dalam menyambut bulan suci Ramadhan, namun menggunakan ayam.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru