JAKARTA – Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar frasa “film romantis-komedi”?
Film tentang periode cinta-cintaan kedua tokoh utama yang lengkap dengan pasang-surutnya serta dibumbui berbagai candaan sebagai pemanis?
Tak lupa, saingan dari salah satu tokoh utama dalam mendapatkan sang pujaan, yang sialnya terkadang tampak lebih menarik dan membuat penonton sempat memihaknya?
Semua itu bisa diharapkan kehadirannya dalam film “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film” karya Yandy Laurens yang baru rilis Kamis (30/11) lalu.
Singkatnya, film ini mengisahkan seorang penulis film bernama Bagus Rahmat (Ringgo Agus Rahman) yang berniat membuat film tentang seorang penulis film bernama Bagus (Dion Wiyoko) yang ingin membuat film yang menceritakan perjalanan cintanya dengan dambaan hatinya, Hana (Julie Estelle).
Mudahnya, begini: ada upaya pembuatan film di dalam film yang kita tonton, yang hampir seluruh kisahnya sama dengan yang dialami oleh tokoh utama kita.
Saking samanya, nama Hana dalam film yang dibuat Bagus Rahmat sama dengan nama wanita yang dicintainya di dunia nyata–yang diperankan oleh Nirina Zubir.
Poin ini sendiri saja, bagi saya, sudah menjadi keunikan hakiki dari proses kreatif yang dilakukan Yandy terhadap filmnya.
Penonton diajak menyaksikan proses pembuatan film dalam bentuk film dan meraba-meraba, begini juga kah alur membuat sebuah film di dunia nyata?
Ego produser yang menginginkan film yang mudah mendatangkan penonton, idealisme seorang penulis film terhadap ide yang dipegangnya, hingga diskusi-perdebatan di sekitar penulis–termasuk dari para pemeran–yang membuatnya mempertanyakan apa yang sebenarnya ditulisnya.

Menyinggung cinta-cintaan, “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film” tampaknya ingin menunjukkan bentuk-bentuk eksekusi cinta yang berbeda dari satu orang ke orang lainnya.
Bagus Rahmat mewujudkannya dengan membuat film yang akan ia persembahkan kepada Hana. Sementara yang dipuja mewujudkannya dengan tetap menyimpan rapat-rapat dukanya seorang diri lantaran ditinggal cintanya untuk selama-lamanya.
Cinta dan duka. Bahagia dan sengsara. Ketukan yang baru dan masa lalu. Semuanya bertolak belakang, namun dalam film ini diramu begitu indah hingga tak bisa terpisahkan.
Rasanya satu, menyatu, dan memang harus begitu. Masing-masing orang punya caranya sendiri, ramuannya sendiri, dan waktunya sendiri untuk menghidupkan cintanya sendiri.
Akting para pemain dalam arahan Yandy yang menduduki posisi penulis sekaligus sutradara membuat semua elemen tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh.
Keputusan untuk menampilkan sekitar delapan puluh persennya dalam hitam putih juga semakin menegaskan kondisi tersebut.
Selain alasan untuk membedakan mana dunia Bagus Rahmat dan Bagus dalam film yang ditulisnya, kehadiran hitam-putih seolah menunjukkan pergolakan batin sang penulis dalam menghadapi dua dunianya yang ingin ia satukan: film dan Hana.
Baik kah adanya jika ia membuat film tentang dirinya dan Hana yang masih tenggelam dalam duka, selagi ia mengharap sang wanita sedikit saja melihatnya sebagai kelanjutan hidupnya?
Temukan jawabannya hanya dalam “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film”.