TANAH KARO – Mery Juana, seorang guru yang mengajar di SMU Katolik Kabanjahe kehilangan suaminya Juli 2020 lalu. Sebagai keluarga yang suaminya dinyatakan meninggal dunia karena Covid-19, Mery dan empat anaknya inisiatif melakukukan tes rapid Covid-19 setelah diabaikan oleh pihak rumah sakit dan pemerintah Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara.
Inisiatif Mery melakukan rapid Covid-19 sangat beralasan, salah satunya karena tidak ingin anaknya terpapar Covid-19 sebagaimana yang menimpa suaminya, Franky Pinem.
“Saya tes rapid Covid-19 sendiri karena setelah suami saya meninggal dunia pihak rumah sakit tidak juga memeriksa kami sekeluarga apakah terpapar Covid-19 atau tidak,” ujar Mery lewat video yang Ia unggah di akun Facebooknya di @MeryJuana.
“Hasil rapid saya di Anugerah (Laboratorium klinik Anugerah Kabanjahe) saya dinyatakan non reaktif,” ujarnya sembari menunjukkan lembaran kertas hasil tes laboratorium.
Mery, saat melihat hasil tes rapid tersebut mengaku masih mempertanyakan alasan suaminya terkena virus corona. Karena sejak suaminya menderita demam tinggi sampai akhirnya berpindah-pindah dari rumah sakit ke rumah sakit, Mery mengaku kontak langsung dengan suaminya ternyata tidak terpapar corona.
Untuk diketahui, suami Mery sempat dirawat di beberapa klinik dan rumah sakit di Kabanjahe sebelum akhirnya dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe dan dinyatakan meninggal dunia. Suami Mery terkena demam sejak tanggal 26 Juni 2020 dan mendapat obat dari puskesmas dan dinyatakan sembuh. Suami Mery juga sempat membawa Mery dan anak-anaknya berobat ke klinik Bakti Murni untuk dirawat karena demam dan kembali dinyatakan sembuh.
Sampai akhirnya tanggal 1 Juli 2020 suami Mery kembali demam dan diberikan obat dari Klinik Bakti Murni. Karena tidak sembuh akhirnya dipindahkan ke Klinik Yoreskitha. Sampai pada tanggal 3 Juli 2020 Mery membawa suaminya ke Klinik Bersama Kabanjahe untuk kembali melakukan pemeriksaan.
Hasil cek darah suami Mery juga hanya menyatakan terkena tipus dan diminta untuk dirawat dengan obat-obatan herbal. Sempat dirawat 4 malam di Klinik Bakti Murni, akhirnya suami Mery dirawat di Rumah Sakit Efarina Etaha dengan syarat melalui pemeriksaan rapid corona. Hasilnya ternyata reaktif corona. Dari penuturan Mery dalam tayangan video tersebut, penanganan di Rumah Sakit Efarina Etaham tidak baik. Mery akhirnya memutuskan untuk membawa suaminya ke Rumah Sakit Umum.
“Karena tidak ada penanganan dari dokter Rumah Sakit Efarina saat itu. Dia hanya duduk-duduk santai tanpa lakukan apapun. Saya paksa perawat agar kami diizinkan pindah ke Rumah Sakit Umum (RSU). Kami terlunta-lunta 6 jam di Rumah Sakit Efarina. Suami saya drop dan dia mulai ketakutan saat itu dan sesaknya sudah mulai kambuh,” katanya sembari berurai air mata.
Mery akhirnya mengetahui dari salah satu perawat yang mengaku sebagai sahabat kecil suaminya bahwa belum dilakukan pemeriksaan Swab Covid-19 terhadap pria yang Ia nikahi sejak tahun 2005 tersebut, pun sampai akhirnya Ia meninggal dunia. Ironis!
“Tiga anak saya dinyatakan reaktif dan satu tidak,” jelas Mery.
Karena tiga dari empat anaknya dinyatakan berstatus reaktif, maka Mery membawa empat anaknya kembali ke rumah tinggalnya yang berada di Samura Indah. Karena dalam kondisi berduka, Mery beserta anaknya diantarkan pulang ke rumah oleh sanak saudaranya.
Namun, Mery mempertanyakan sikap pemerintah dan rumah sakit yang tidak memberi perhatian kepada keluarga mereka padahal mereka adalah salah satu keluarga yang kehilangan keluarga akibat Covid-19. Dengan kata lain tidak ada pemeriksaan lanjutan terhadap kondisi terbaru keluarga sementara mereka harus menjalani karantina pribadi di rumah. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Mery dan keluarganya melakukan isolasi karena inisiatif sendiri, bukan karena imbauan dari pemerintah. Sikap yang sangat terpuji ini ternyata diabaikan oleh pemerintah.
8 hari setelah suaminya meninggal, tepatnya tanggal 15 Juli 2020, Mery mendapat kabar dari salah satu keluarga yang bekerja di DKR. Isinya adalah hasil Swab suaminya ternyata positif Covid-19. Disarankan saat itu juga bahwa Ia dan keempat anaknya harus melakukan tes Swab corona di Rumah Sakit Umum di keesokan harinya. Keluarga yang tidak memiliki informasi pribadi yang lengkap dinyatakan tidak bisa ikut tes rapid corona saat itu.
“Usai Swab kami disuruh pulang tanpa pemberitahuan apa-apa,” jelasnya.
Tanggal 20 Juli 2020, Mery dan keluarganya kembali diminta untuk mengikuti tes Swab corona kembali. Mery waktu itu membawa serta mertua dan keluarganya. Saat itu mertua Mery ternyata menolak untuk dilakukan pemeriksaan dengnan alasan sehat, dan disaat yang bersamaan petugas ternyata juga tidak memaksa. Sikap petugas dan rumah sakit dipertanyakan oleh Mery mengingat kasus corona ini sampai merenggut nyawa suaminya.
“Hasilnya dinyatakan positif kena Covid saat itu,” katanya.
Tanggal 3 Agustus 2020 Mery dan keluarganya dipanggil kembali untuk menjalani tes Swab. Dan sejak saat itu sampai saat ini belum ada perhatian dari pihak puskesmas terdekat, rumah sakit atau petugas kesehatan.
“Tidak ada yang mencari tahu apakah kami sudah terkapar atau tidak di rumah saat diisolasi. Bahkan kebutuhan kami sehari-hari yang pada waktu itu ada sekitar 9 orang di rumah, saya harus berjuang menghubungi rekan kerja saya agar memberikan bantuan kepada saya,” katanya.
Berbagai macam vitamin untuk menunjang kesehatan yang dikonsumsi oleh keluarga Mery ternyata diperoleh dari hasil mengutang dari pihak teman dan sahabat Mery yang peduli padanya.