BELANDA – Pa Kantur dari Taneh Karo, Sumatera Utara adalah salah satu dari sekian banyak pecatur Indonesia yang pernah bertanding melawan Professor Max Euwe, seorang pecatur asal Belanda yang tercatat sebagai juara dunia catur sebelum Boris Spasky.
Pertandingan ini terjadi di tahun 1940-an. Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh Antropolog asal Belanda Juara R. Ginting diketahui bila pertandingan catur antara Pa Kantur dengan Max Euwe yang berakhir remis di tahun itu.
Professor Max Euwe sendiri diangkat sebagai ketua Persatuan Catur Dunia (FIDE) sekitar tahun 1960-an. Euwe adalah guru besar Matematika di Universitas Tilburg (Belanda).
Setelah Max Euwe menjadi Juara Dunia, dan Presiden FIDE sekaligus guru besar Matematika, orang-orang mulai mensetarakan tidak hanya Pa Kantur tapi orang-orang Karo dengan para jenius dunia.
Dirilis oleh Karo Siadi, disebutkan bila Koran De Sumatra post pada tanggal 5 Februari 1914 memberitakan bahwa Narsar Karo-karo Purba telah kembali ke Tanah Karo.
Kontributor koran ini menuliskan ada banyak pemain catur yang terampil di sekitar Narsar, dan bahkan mungkin lebih baik dari Narsar.
Ada satu pemain catur di negeri Karo yang biasanya Si Narsar pasti menolak bermain dengannya. Bagi para grand master di dunia, penghindaran seperti itu sudah cukup dikenal.
Narsar Karo-karo Purba mendapat julukan baru. Oostkustsche Capablanca, Capablanca dari Pantai Timur (Sumatera).
Sejak kemenangan Narsar selama turnya di Jawa, koran-koran menuliskan dengan antusias munculnya juara catur baru ini. Dia dianggap sama hebatnya dengan Capablanca. Siapa Capablanca?
Jose Raul Capablanca lahir di Havana, Kuba pada tanggal 19 November 1888 dan meninggal di New York City, Amerika Serikat pada tanggal 8 Maret 1942 pada umur 53 tahun.
Capablanca adalah seorang pemain catur kelas dunia asal Kuba pada awal hingga pertengahan abad ke-20. Ia memegang gelar juara catur dunia dari tahun 1921 hingga 1927.
Siapa Pa Kantur Sebelumnya?
Pa Kantur bernama asli Narsar Purba alias Pa Kantur. Dia disebut Pa Kantur karena anaknya paling tua bernama Kantur.
Nama Kantur dia berikan karena pekerjaanya sebagai opsir Belanda (polisi) yang saat itu tempatnya bekerja disebut Kantur (kantor atau office).
Pa Kantur punya julukan terkait dengan pekerjaannya sebagai polisi, yaitu Si Keret Cuping atau Si Potong Kuping karena ia tidak segan-segan langsung memotong telinga penjahat yang ditangkapnya. Memang dia adalah seorang jagoan atau petarung.
Satu sisi lain yang teramat penting bagi Sejarah Karo adalah bahwa dia seorang Dukun Besar (baca: Guru Mbelin) yang telah banyak menyembuhkan orang-orang yang menderita penyakit jiwa (kegilaan).
Penyakit jiwa terjadi setelah Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1963 yang diserukan oleh Presiden Soekarno.
Saat itu banyak pedagang sayur perempuan yang kemudian menjadi gila akibat konfrontasi itu karena berhentinya ekspor sayur mayur ke Penang dan Singapura.
Berastagi sendiri telah menjadi pusat perekonomian di Dataran Tinggi Karo sejak Belanda mengembangkan berbagai jenis tanaman sayur di Kuta Gadung (Raya).
Tuan Botje yang lulusan sebuah Sekolah Pertanian dari Wageningen (Belanda) melakukan percobaan menanam kentang (sehingga tempat itu disebut Kuta Gadung) dan kemudian berkembang ke berbagai jenis sayuran lain (buncis, kol, arcis, bunga kol, dan lain sebagainya).
Dalam sebuah tulisannya, Tuan Botje takjub melihat orang-orang Karo yang awalnya “mengintip” dari kejauhan tapi kemudian bisa membudidayakan berbagai jenis sayuran dari Eropa yang dicobakan oleh Tuan Botje di Kuta Gadung.
“Hingga terjadi over production. Tujuan awal dari Belanda adalah untuk menyediakan sayur mayur dan kentang untuk konsumsi perkebunan asing di Sumatera Timur,” tulis Juara Ginting.
Akibat hebatnya orang-orang Karo bertani, lanjutnya, terjadi over production. Untuk mengatasi masalahnya, Belanda bekerja sama dengan Inggris untuk menerobos pasar ekspor sayur mayur dari Berastagi ke Penang dan Singapura.
Berastagi pun berkembang menjadi kota perdagangan sayur selain kota wisata kelas utama.
Keindahan kota Berastagi ini juga bisa dibaca di novel Lulofs dengan judul “Berpacu Peluh di Kebun Karet” yang diterjemahkan dari Rubber. Isinya mengenai Bandar Baru dan Gundaling sebagai dua tempat wisata para pegawai perkebunan.
Di buku itu dituliskan bila Bandar Baru adalah tempat cuti untuk para pegawai menengah perkebunan, sementara Gundaling tempat cuti para pegawai kelas atas perkebunan.
Pada masa jayanya di tahun 1950-an hingga 1963 itu, telah banyak para perempuan Karo yang menjadi pedagang sayur mayur. Terutama para ibu muda.
Verkoper yang biasa diucapkan di Berastagi perkoper adalah dari Bahasa Belanda yang menjualkan hasil panen petani ke para pedagang dari Medan ataupun eskportir.
Pada saat Konrontasi dengan Malaysia, para perdagangan sayur mayur menjadi hancur total. Banyak perempuan menjadi gila dengan berlari bugil di jalanan.
Salah satu diantaranya adalah kisah seorang ibu ini. Saat kami wawancarainya dia tinggal di Gang Dipanegara, Padangbulan, Medan.
Bekerja sehari-hari sebagai pedagang sayur di Jl. Sutomo (Medan), pusat perdagangan sayur mayur Kota Medan saat itu sekitar tahun 1980-an.
Dia juga adalah seorang dukun (baca: guru) yang bisa menyembuhkan penderita berbagai penyakit secara tradisional.
Ini kisahnya
Setelah Konfrontasi Indonesia-Malaysia terjadi, dia harus tinggal di kampung suaminya bersama mertuanya. Hingga suatu saat, orang-orang di rumah adat tempatnya tinggal menangkap dirinya yang hendak menggoreng bayinya di kuali. Tak berapa lama, diapun menghilang.
Setelah menabuh gong sambil memanggil namanya, dia terbangun dan mendapatkan dirinya berada di sebuah kandang ayam. Padahal sebelumnya dia merasa dibawa menungang kuda oleh Raja Umang mendaki Gunung Sibayak.
Singkat cerita, dia kemudian disembuhkan oleh Pa Kantur melalui sebuah ritual Suku karo bernama Petampeken Jenujung.
Jadi, bila seseorang yang sakit mengikuti ritual penyembuhan dengan cara Suku Karo maka secara otomatis dia juga akan menjadi seorang dukun baru.
Dari penelitian kami, kami temukan sekitar 100 dukun perempuan di Medan yang mengaku Tinambaren Pa Kantur.
Kami temukan juga sekitar 50 dukun perempuan di sekitar Berastagi yang mengaku bekas pasien (tinambaren) Pa Kantur.
Kiranya banyak sekali penderita gangguan jiwa yang disembuhkan oleh Pa Kantur yang sebagian besar adalah pedagang sayur mayur di Berastagi.
Ada 3 cara penyembuhan gangguan jiwa di kalangan dukun Karo:
1. Memisah penyebab (terutama roh atau keramat) dengan penderita dengan menyerang penyebab untuk memisahkan mereka
2. Mendamaikan penyebab dengan penderita tanpa menyerang penyebab
3. Mengawinkan penyebab dengan penderita melalui ritual Petampeken Jenujung.
“Menurut analisis saya, Pa Kantur memilih cara ke tiga atas adanya maksud memperbanyak Orang Karo menjadi dukun sehingga kebutuhan terhadap ritual-ritual tradisional semakin meningkat. Itulah inti dari argumen saya bahwa Pa Kantur adalah tokoh Gerakan Keaslian Budaya (Nativistic Movement),” ungkap Juara Ginting.
“Hingga terjadi Peristiwa G30S 1965 saat dimana menurut orang-orang Karo di Berastagi saat itu terjadi saling bunuh antara sesama orang Karo. Tak lama kemudian terjadi banjir pula di Kuta Keling yang menewaskan 11 warga kampung itu,” tambahnya.
“Bagaimana Dataran Tinggi Karo bisa mengalami banjir? Ini kan tidak wajar,” kata warga Karo yang ditemui saat itu mencoba meyakinkan kami tentang adanya tanda-tanda jaman yang disampaikan oleh para leluhur Karo.
Lalu, di Tahun 1966 itu juga, DGI (Dewan Gereja-gereja Indonesia) yang sekarang bernama PGI (Persatuan Gereja-gereja Indonesia) mengadakan kampanye besar-besaran di Kuala (Kabupaten Langkat), Kuala (Kabupaten Karo), dan Kabanjahe (Kabupaten Karo).
Mereka memanggil orang-orang Karo menjadi Kristen agar tidak dituduh simpatisan PKI.
Pada saat itu, baru 11,7% orang Karo yang menganut agama (Protestan, Katolik, dan Islam).
Selebihnya tidak beragama atau mengaku Perbegu yang sejak Tahun 1943 mendeklarasikan diri Pemena (bukan lagi Perbegu).
Pada tahun 1967, atas desakan para dukun Karo yang tinambaren Pa Kantur, para tokoh Partai Murba, partai yang saat itu sudah dibekukan oleh Rezim Orde Baru, menggerakkan acara Erpangir ke Lau Debuk-debuk (Doulu). Acara ini digabungkan dengan peresmian Jamburta Ras Berastagi.
Meniru cara kampanye DGI, sekembalinya dari Lau Debuk-debuk dengan angkutan bus yang didukung oleh perusahaan milik Orang Karo bernama bus Sigantang Sira, para peserta erpanbir turun di pangkal Jalan Veteran, Berastagi, dan berpawai menuju Jamburta Ras.
Saat itu mereka berjalan dipersatukan oleh sehelai benang.
Setibanya di Jamburta Ras, mereka disambut gendang sarunei oleh penarune Pa Sanggup Ginting dari Desa Lingga. (baca: sarunei artinya alat musik tiup khas Suku Karo. Penarune artinya peniup sarunei).
Seorang dukun besar asal Tanjung bernama Pa Tanjung menyambut mereka satu per satu. Dia menangkap lengan tiap-tiap orang yang baru tiba dan diarahkannya untuk meraba pasak (baca: tekang) jambur.
Setelah meraba tekang jambur, satu per satu peserta mengalami kesurupan. Pemusik pun mengalihkan lagu ke Peselukken hingga terjadi Upacara Kesurupan (Seluk) (Trance Ritual).
Peserta utama acara itu adalah gabungan Perodak-odak Rumah Berastagi dan Perodak-odak Peceren.
Tapi berjubel peserta yang datang dari Bahorok, Tanjung Langkat, Kuala (semuanya Kabupaten Langkat), Medan, Pancurbatu, Delitua, Sibiru-biru, Lubuk Pakam, Sibolangit, Sunggal, Kutalimbaru (semuanya Deliserdang), kampung-kampung di Silima Kuta dan Doloksilau, Pematang siantar (Kabupaten Simalungun), Taneh Pinem, Tiga Lingga (Kabupaten Dairi), Kutacane, Lawe Diski (Kabupaten Acegh Tenggara), dan kampung-kampung di Kabupaten Karo.
Saat itu juga diresmikan organisasi mereka bernama Balai Pustaka Adat Merga Silima. Dihadiri dan diresmikan oleh Bupati Karo yang saat itu marga Siregar (Mandailing) (Lupa namanya).
Ada 5 tahun berturut-turut mereka melakukan ritual yang sama. Hingga akhirnya terjadi perpecahan di dalam organisasi.
Pengurus organisasi itu adalah Pa Raja Bale Ginting (Ketua), Adatha Bukit (Sekretaris), dan Kantur Purba (Bendahara) (putra Pa Kantur). Mereka semuanya adalah tokoh Partai Murba.
Pada Pemilu 1971, Pa Raja Bale mengikuti jejak Ketua Partai Murba (Adam Malik) dengan masuk Golkar dan masuk Islam. Adam malik sendiri saat itu naik haji.
Adata Bukit dan Pa Kantur kemudian menggerakkan agama Hindu yang ujungnya pada Tahun 1985 diresmikan Parisada Hindu Dharma Karo (PHDK) bersamaan dengan peresmian Candi Hindu bergaya arsitektur Besakih (Bali) di Desa Tanjung (Kecamatan Tiganderket, Kabupaten Karo).
Dimana Letak Kekuatan Pa Kantur?
Ketika di warung kopi orang-orang bertanya pada Pa Kantur tentang “di mana letak kekuatannya sehingga bisa mengalahkan banyak pecatur kelas dunia”.
Pa Kantur pun menunjuk ke puncak Gunung Sibayak.
“Nini Beru Kertah Ernala,” jawabnya enteng.
“Itu pulalah jiwa para tokoh Nativistic Movement meyakinkan orang-orang Karo bahwa Agama Karo, bernama Merga Silima, tidak kalah dari agama-agama manapun di dunia. Lihat saja seorang Pa Kantur Purba yang jenujungnya Beru Kertah Ernala bisa mengimbangi para pecatur kelas dunia. Padahal dia tidak pernah ke sekolah sama sekali,” ungkap Juara Ginting.
Pa Kantur atau Narsar Purba adalah tokoh kharismatik yang mempertebal kepercayaan diri bagi para korban diskriminasi kaum beragama di masa itu yang menuduh tradisionalisme sebagai sebuah ketololan atau ketinggalan jaman.
Bahkan mereka dituduh simpatisan PKI alias pendukung Gerakan 30 September 1965.