THE EDITOR – Budaya belum dijadikan sebagai mata pencaharian yang menghasilkan keuntungan secara ekonomi di Indonesia. Padahal, Indonesia adalah satu dari sekian negara yang memiliki kekayaan budaya di dunia.
Edisi kali ini, The Editor akan membahas tentang prospek ‘cuan’ dari bisnis budaya yang dipakai oleh negara lain seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Jepang, Korea Selatan dan lain-lain.
Kami akan ajak anda berbincang dengan Staf Khusus Bidang Sejarah dan Perlindungan Warisan Budaya Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia Basuki Teguh Yuwono tentang cara mengelola agar budaya dapat menghasilkan cuan atau uang.
“Saat ini kebudayaan sebenarnya memiliki ekosistem dampak yang sangat luas. Sering kali mengukur dampak ekonomi kebudayaan itu hanya terukur murni dari kebudayaanya. Sedangkan, kebudayaan ketika dikemas dalam perspektif pariwisata, dalam perspektif ekonomi kreatif dan dapat bila dikemas dala aktivitas-aktivitas yang lain maka dampak ekosistemnnya sangat luas terhadap aspek ekonomi. Sayangnya, sementara ini indikator yang dipakai untuk menilai itu masih sebatas pengertian budaya itu sendiri,” ungkap Basuki.
Agar kebudayaan mampu menjadi sumber uang, Basuki menilai masyarakat harus melihat dari sudut pandang yang luas. Misalnya, dalam pertunjukan seni kadang masyarakat kurang menyadari aktivitas ekonomi yang berputar selama pagelaran berlangsung.
Menurutnya, ruang ekonomi yang muncul dalam sebuah pertunjukan seni tidak terbatas hanya di konsumsi atau uang untuk membayar jasa seniman, namun juga merambah pada kostum dan properti (benda yang dipakai saat pentas).
Selama ini menurutnya tidak ada indikator yang dipakai untuk menilai besaran keuntungan yang akan didapatkan dari sebuah pertunjukan. Selain itu, kebanyakan orang masih mengira kebudayaan hanya untuk konsumsi masyarakat asing, jadi pementasannya pun hanya dilakukan di luar negeri saja.

Namun, ternyata Basuki menilai perputaran ekonomi seni di dalam negeri justru tidak kalah tingginya. Ia setuju bila masyarakat asing juga tidak sabar datang ke Indonesia untuk melihat kekayaan budaya lokal sebagaimana yang terjadi di Thailand, Korea Selatan dan Jepang.
Ia menyarankan agar setiap individu dapat melihat kebudayaan sebagai subjek dan membuatnya jadi lebih dinamis tanpa meninggalkan maknanya.
“Bahwa kebudayaan itu tidak semata-mata milik komunitas saja, tapi harus bersinergi dengan banyak pihak, lembaga dan sebagainya. Dan tidak ada lagi kekakuan bahwa kebudayaan itu murni tanggung jawab pemerintah, tapi ada hulu dan hilir ekosistem kebudayaan bagian setiap pihak,” ungkapnya.
Basuki juga sangat yakin bila kebudayaan di masa depan akan sangat menguntungkan bila memiliki manajemen yang kuat. Bila saat ini belum begitu terlihat karena tata kelola kebudayaan masih dilihat sebatas objek saja.
INDONESIA TIDAK KEKURANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

Kata Basuki, saat ini Sumber Daya Manusia (SDM) yang bergerak di bidang kebudayaan sangat cukup. Pemerintah juga ternyata sangat cair dalam melihat perkembangan budaya ini melalui Undang-Undang (UU) Pengajuan Kebudayaan.
Agar dapat menjadikan budaya sebagai sumber uang, Basuki meminta setiap orang melihat kebudayaan ini dengan irisan yang lain seperti ekonomi kreatif, pariwisata dan kementerian lainnya.
Karena bila dikembangkan dalam industri besar-besaran, maka kebudayaan dapat berkembang menjadi ekonomi kreatif yang bernilai ekonomi.
Untuk mendukung perkembangan industri kebudayaan ini, Basuki mengatakan bila pemerintah akan kembali mengkaji ulang standarisasi gedung film dan gedung pertunjukan yang ada di Indonesia.
“Kita terlalu kaku pada aturan modern tapi lupa pada lokalitas. Oleh karena itu, Pak Menteri mengatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan panggung manajemen pariwisata, edukasi dan pariwisata harus tumbuh,” ungkapnya.
Namun, panggung yang tumbuh di masyarakat harus disediakan agar dekat dengan lingkungannya. Misalnya, pertunjukan di bawah pohon beringin yang terjadi di beberapa daerah.
“Untuk apa dibangun panggung dengan konsep naik kalau kontur tanah bisa dipakai, kenapa pakai tidak pakai gedung tua yang menarik, kenapa tidak pakai keindahan alam sebagai lukisan,” katanya.
“Efisiensi tanpa meninggalkan esensi. Itu yang diminta oleh Pak Menteri,” ungkapnya.
JANGAN ANGGAP ORANG LAIN SEBAGAI PESAING
Dalam perjalannnya, lanjut Basuki, pembuat keris, senjata khas daerah suku Jawa ditemukan di banyak negara seperti Belanda, Brunei Darusalam, Malaysia dan Thailand.
Ia meminta agar pengrajin keris dari luar negeri ini tidak dianggap sebagai pesaing oleh masyarakat setempat agar berkembang. Hal serupa juga terjadi pada batik, wayang dan kebudayaan lain yang ada di Indonesia.
“Di wilayah kebudayaan, produk (budaya) maksimalkan dulu, maka ruang pasar akan terbuka karena kita sudah punya potensi,” katanya.
Untuk batik misalnya, Ia berharap masyarakat sadar bila dalam bisnis kebudayaan tidak pernah ada muncul pesaing.
Karena, saat kebudayaan berkembang pesat, maka konsumen dan penikmat batik tulis justru berkembang pesat. Padahal, di masa lalu, banyak pengrajin batik tulis mulai gulung tikar di kawasan Solo dan Jawa Tengah.
Tetapi, dengan mencuatnya kebudayaan dan memperkenalkan batik baik lewat aturan pemerintah dan pentas ke seluruh dunia, maka para pengrajin batik tulis kembali hidup.
“Saat Noken diterima oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia maka muncul fashion-fashion busana yang terkaitan dengan Noken di Sarinah (Jakarta Pusat),” ungkapnya.
TERBUKA PADA TEKNOLOGI DAN SETIA PADA PONDASI

Di masa sekarang ini, Basuki meminta agar para pelaku budaya tidak kaku pada teknologi, tetapi di saat yang bersamaan, Ia juga meminta agar pondasi dan akar budaya tetap dijaga agar tetap menarik.
Misalnya, dalam pementasan wayang, Basuki berharap seniman lokal dan para penabung gamelan yang ikut dalam bagian pertunjukan ini dilibatkan.
“Ruang untuk kita menikmati seni secara langsung tentu berbeda (rasanya) dengan mendengarkan rekaman. Maka, ruang-ruang pertunjukan harus terus terbangun. Tapi di sisi lain, rekaman pertunjukan juga harus terus digarap,” ungkapnya.
Basuki berharap ragam budaya Indonesia seperti Tari Pendet yang ingin banyak dilihat langsung oleh turis asing.
“Pak Menteri ingin Indonesia menjadi pusat budaya dunia,” ungkapnya.