
NATUNA – Pulau Buncit itulah sebutan yang pas bagi Pulau Senoa. Bentuknya yang menyerupai wanita berbadan dua ini juga yang melatari penamaan salah satu pulau terdekat dengan Pulau Natuna Besar.
Konon nama Pulau Senoa diambil dari kisah saudagar kaya dan istrinya. Suatu ketika saudagar kaya harus menyeberang ke Pulau Natuna Besar karena istrinya akan melahirkan.
Sayangnya, kapalnya saat itu terlalu sesak oleh barang berharga. Saudagar kaya itu ingin mengurangi barang bawaannya sehingga beban kapal bisa berkurang.
Namun, ketamakan istrinya menghalangi niatan saudagar itu. Walhasil, mereka harus tenggelam bersama kapal juga hartanya. Dari kisah itulah masyarakat menamakan pulau tersebut sebagai Pulau Senoa.
Kontur buncit terlihat karena pulau tak berpenghuni itu memiliki bukit yang tampak pula dari salah satu sisi Pulau Natuna Besar. Setelah mendengar cerita itu, saya lantas memahami mengapa asosiasi itu tepat dengan bentuk pulau yang menjadi salah satu destinasi wisata di Natuna.
Agar bisa mencapai pulau ini, saya harus menumpang kapal motor yang bisa mengangkut sekira 15 penumpang sekali jalan dari Desa Sepempang. Kapal ini tak beratap namun bisa mengantarkan pelancong sampai ke Pulau Senoa dalam 15 menit hingga 20 menit.
Ketersediaan kapal umum ini terkadang tak bisa dipastikan mengingat jumlah pelancong sangat terbatas. Dengan demikian, pelancong hanya bisa menyewa kapal nelayan. Untuk perjalanan dari Pulau Natuna Besar ke Pulau Senoa juga sebaliknya saya harus membayar Rp200.000.
Kendati jauh lebih mahal, pilihan itu lebih baik daripada tidak pergi sama sekali atau bila melancong seorang diri. Alasannya, di Pulau Senoa tak tersedia tempat penitipan barang, kamar mandi maupun ruang ganti.
Namun, di sana sudah tersedia dermaga sehingga proses naik-turun kapal lebih nyaman. Sampai di Pulau Senoa, saya disambut rumah tua kecil di atas karang. Saya langsung melewati batu karang untuk mencapai rumah itu.
Rumah dengan jendela dan berdinding papan itu tampak lapuk lengkap dengan coretan tangan jahil para pengunjungnya. Dari jendela rumah itu, saya melihat air laut biru nan jernih dengan Gunung Ranai berdiri kokoh seolah mengawasi.
Pengunjung saat itu cukup ramai namun tak seramai pantai-pantai populer lainnya. Terlihat sekira 30 orang pengunjung dengan sebagian besar merupakan keluarga yang menghabiskan libur Lebaran.
Saya pun mencelupkan kaki sambil duduk di batu karang. Dari situ saya menikmati air yang jernih dan biru kehijauan lengkap dengan ikan-ikan kecil yang melompat dan kawanan burung yang siap menangkapnya. Pasir putih dan bukit di tepi pulau menjadi bingkai pemandangan saya saat itu.
Menjauh dari pantai berbatu karang, saya pun mencoba berenang di air jernih itu. Saya merasa seperti memiliki sisi pantai karena tak ada lagi orang lain. Meskipun pengunjung lain berpiknik dan anak-anak melompat dari dermaga, semua seolah menjadi suara latar yang samar-samar terdengar karena suara air laut yang tersapu ombak tenang lebih dominan.
Damai dan menenangkan. Sambil bersantai, saya mengeluarkan makanan ringan. Ternyata, saya menarik perhatian beberapa anak yang penasaran dengan makanan yang saya bawa. Mereka pun ternyata menyadari bahwa saya bukanlah warga setempat.
Mungkin karena Ranai Besar meskipun pulau yang paling banyak populasinya, tetap saja jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan satu desa di dekat Ibu Kota. Oleh karena itu, dari perbedaan atribut dan gaya busana langsung identifikasi asal bisa dilakukan secara tepat.
Kami pun menjadi akrab secara instan. Seperti anak lelaki berusia 8 tahun pada umumnya, Alif yang berlibur bersama keluarganya mengajak saya menyusuri pantai bahkan melompat dari dermaga. Saya hanya memilih untuk menyusuri pantai dan menjadikannya model foto saya saat dia melompat dari dermaga.
Matahari mulai menghangat, tanda perjalanan harus diakhiri. Saya pun sudah meminta nelayan yang saya sewa kapalnya itu menjemput pukul 16.00 WIB. Rasanya ingin menghabiskan waktu sampai matahari terbenam. Sayangnya, saat itu cuaca di Natuna kerap tak menentu. Guratan awan abu-abu sudah terlihat di kejauhan, berpindah dari Gunung Ranai ke daratan dan mendekat ke Pulau Senoa.
Lama kelamaan pasir putih itu tenggelam dari pandangan mata karena saya kian dekat dengan Pulau Natuna Besar. Saya harus menerima bahwa inilah waktunya berpisah dengan Pulau Senoa beserta keindahannya.