JAKARTA – Menghentikan proyek reklamasi merupakan salah satu cara Anies Baswedan dan Sandiaga Uno memenangkan Pilkada DKI 2017 lalu. Keduanya melawan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat yang memiliki visi dan misi yang berbeda terkait reklamasi di Teluk Jakarta.
Di acara debat final Pilkada DKI tanggal 12 April 2017 lalu Ahok dan Djarot yang menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu mengatakan bahwa tidak ada larangan nelayan untuk tinggal di kawasan reklamasi. 50 persen lahan reklamasi yang dimiliki oleh Pemprov DKI akan jadi lahan tinggal nelayan nantinya.
Berbeda dengan Anies dan Sandiaga, keduanya ternyata tahu kekuatan asosiasi nelayan yang menolak rencana reklamasi. 17 Maret 2017 dalam kampanyenya, keduanya sepakat menolak reklamasi, bahkan berjanji akan menghentikannya bila terpilih.
Ahok dan Djarot atau bahkan Presiden Joko Widodo yang pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta di tahun 2013 lalu tidak pernah mengerti kekuatan asosiasi nelayan di Ibukota. Mereka lupa bila asosiasi nelayan memiliki suara baik dalam politik maupun ekonomi.
Hal ini ternyata ditangkap oleh Anies saat kampanye. Meskipun akhirnya dia tidak mampu memenuhi janji tersebut, yang penting saat ini Ia sudah duduk di kursi Gubernur DKI dan mulai melupakan nelayan.
Kenapa harus peduli pada asosiasi nelayan? Apakah mereka memiliki kekuatan?
Pertama adalah belajar dari Jepang, salah satu negara yang memiliki asosiasi nelayan terkuat di dunia. Bagi masyarakat Jepang, wilayah lautan sama pentingnya dengan daratan. Dalam sejarah Jepang disebutkan bahwa nelayan memiliki kekuatan yang sama dengan petani, atau umum disebut Kaijin.
Hingga akhir abad ke-20, nelayan tetap jadi bagian yang sangat penting dalam politik Jepang. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai asosiasi perikanan yang mampu mengguncang ekonomi dan politik negara Sakura itu, diantaranya Dai Nippon Suisan Kai (Great Japan Fisheries Association) yang dibentuk tahun 1998 dan Federasi Asosiasi Koperasi Perikanan Tuna Jepang yang didirikan tahun 1960
Salah satu alasan sektor perikanan sangat penting secara politis di Jepang karena pemilih di area rural menjadi sangat penting secara elektoral. Hal ini terjadi karena wilayah rural sudah menjadi pusat Partai Demokrat Liberal yang berkuasa sejak tahun 1955.
Daerah rural menerima banyak bantuan dari pemerintah baik dari memberlakukan pajak preferensial agar biaya listrik murah dan membangun infrastruktur.
Banyak perusahaan perikanan yang berada jauh daerah rural dibangun, misalnya Kushikino di Prefektur Kagoshima, dan Kesennuma di Prefektur Miyagi.
Kekuatan suara nelayan dalam politik tercermin lewat dukungan yang mereka terima dari pemerintah.
Di tahun 1980-an industri perikanan sangat bersaing dimana nelayan Amerika Serikat dan Jepang kehilangan dominasinya akibat gempuran nelayan berarmada murah dari Taiwan, Korea, dan Asia Tenggara.
Keberadaan zona ekonomi eksklusif (EEZ) juga menjadi salah satu penyebab menurunnya jumlah produksi ikan mereka.
Secara politik dan ekonomi ini tentu saja sangat berbahaya, untuk itu pemerintah Jepang kala itu menyediakan berbagai skema agar ekonomi tidak jatuh, diantaranya dengan menyediakan pinjaman berbunga rendah, memperbaharui teknologi kelautan dan penyesuaian struktural.
Jepang tidak pernah anggap sepele asosiasi nelayan yang berada di area terpencil. Jepang justru tumbuh jadi negara adi daya sejak pemerintahnya memberikan perhatian lebih pada nelayan.
Industri penangkapan ikan tuna di Jepang telah berkontribusi banyak pada ekonomi Jepang. Untuk itu nelayan merupakan sebuah mesin raksasa ekonomi negara adidaya ini yang ditakuti kekuatan suaranya dalam politik. Nah, bagaimana dengan Indonesia?
Jadi bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara Kepulauan, Indonesia dihadapkan pada 10 negara tetangga yang memiliki wilayah batas kelautan diantaranya: Malaysia, Singapore, Thailand, Philippines, Vietnam, India, Australia, Papua New Guinea, East Timor dan Palau.
Dari dulu hingga sekarang kasus pencurian ikan di Pulau Natuna, Provinsi Riau selalu saja jadi sorotan dan tak pernah selesai.