JAKARTA – Seorang Ibu tua duduk sembari mengunyah daun sirih yang tidak setiap hari Ia makan. “Hanya sesekali bila ada yang datang membawanya dari jauh,” katanya saat ditanya soal kebiasaannya tersebut.
Martini, bukan nama sebenarnya, seorang Ibu yang memiliki dua anak yang kedua-duanya masuk seminari sejak usia mereka masih muda. Seminari adalah lembaga pendudukan bagi calon pastor atau pendeta Katolik. Sekolah ini khusus untuk pria. Sebutan Imam juga dikhususkan untuk pria yang melayani gereja.
Selama hidupnya, Martini tidak pernah mengeluh atas pilihan anaknya. Baginya justru pilihan anaknya menjadi seorang Imam dan mengabdikan diri kepada Tuhan lewat gereja adalah sebuah kebahagiaan, tapi bukan kebanggaan.
“Karena kebanggaan itu kesombongan,” katanya saat berbincang dengan The Editor beberapa waktu lalu.
Di usianya yang sudah senja, ternyata Martini memiliki kekhawatiran lain. Tak lain dan tak bukan adalah tentang masa tua anaknya.
“Ada kalanya berpikir, kalau Ia sudah tua nanti siapa yang akan menjaganya. Aku sudah lama berpikir hal ini. Siapa yang akan merawatnya dan siapa yang akan memperhatikannya,” kata Martini saat ditanya tentang kekhawatirannya.
Ia sendiri tidak pernah memaksa kedua anaknya untuk keluar dari gereja. Martini mengaku terus mendukung anaknya untuk tetap setia kepada Tuhan dan melayani sebagai Imam.
Martini ternyata khawatir kedua anaknya tidak memiliki biaya untuk merawat diri mereka yang tengah sakit. Untuk dirinya sendiri, Martini ternyata tidak khawatir. Usia tuanya ternyata tak pernah mengurangi semangat Ia dan suaminya untuk terus giat bekerja. Ladang sebagai tempat mereka mengusahakan hasil bumi masih terus digunakan sampai saat ini.
“Saya bisa biayai diri saya sendiri, saya tenang. Tapi mereka (anaknya) bagaimana nanti saat mereka seperti saya?” tanya Martini.
Tim investigasi The Editor akhirnya menyempatkan diri untuk singgah di beberapa kantor paroki tempat dimana para Imam tinggal dan beraktivitas di wilayah Sumatera dan Jawa. Dari beberapa keterangan mereka ternyata diketahui beberapa fakta:
1. Imam hanya mendapat uang saku sebesar Rp300.000 per bulan.
2. Jubah yang dipakai oleh Imam saat bertugas di gereja, paroki atau saat hadir di tengah masyarakat dibeli dan dijahit dari uang saku Imam itu sendiri.
3. Imam tidak mendapatkan perlakuan khusus saat dirawat di rumah sakit swasta milik Gereja Katolik.
4. Banyak diantara para Imam yang memiliki handphone mewah dengan harga diatas Rp10.000.000 ternyata diakui mereka berasal dari pemberian orang terdekat mereka.
5. Disela aktivitas mereka melayani. sebagian Imam hidup dari bercocok tanam dari lahan disediakan oleh gereja.
6. Meskipun Imam gereja Katolik bekerja sebagai kepala sekolah, rektor ataupun direktur di rumah sakit, namun uang saku mereka tetap hanya Rp300.000 per bulan. Aturan ini berlaku sesuai dengan aturan gereja.
7. Rata-rata Imam gereja Katolik sangat akrab dengan tukang jahit yang biasa mengerjakan jubah yang dipakai saat bertugas.
8. Para Imam tinggal di rumah yang disediakan oleh gereja secara gratis dan umumnya dilengkapi dengan pembantu.
9. Para Imam umumnya memiliki kapel kecil di dalam rumah mereka yang biasa dipakai untuk berdoa sehari-hari.
10. Perempuan tidak diizinkan masuk ke dalam rumah tinggal Imam kecuali atas undangan resmi.
11. Banyak Imam yang cemas akan masa tua mereka karena minimnya penghasilan dan minimnya perhatian gereja saat mereka sakit.
12. Banyak Imam yang bercocok tanam untuk masa tua mereka.