JAKARTA – Cita-cita Reformasi Agraria untuk merombak struktur penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia kepada warga negara yang berhak, khususnya kepada petani penggarap, petani gurem, dan buruh tani masih jauh dari harapan.
Peneliti dari Sajogyo Institute Kiagus M. Iqbal mengatakan masalah agraria di Indonesia menunjukkan struktur penguasaan tanah di Indonesia masih tidak adil hingga tahun 2013. 90{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} petani tunakisma (petani tanpa tanah), gurem, dan kecil dalam catatannya disebutkan hanya menguasai 45,71{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} lahan dengan rata-rata luas lahan 0,45 hektar per orang.
“Sementara, 12.04{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} petani golongan lebih mampu menguasai tanah rata-rata 3,87 hektar per orang,” ujar Kiagus sebagaimana dilansir dalam The Conversation, Rabu (16/7).
Ia mencatat bahwa lembaga swadaya masyarakat Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat telah terjadi 2.047 konflik agraria dalam kurun 2015-2019, naik dari 1.308 konflik pada periode lima tahun sebelumnya (2010-2014).
Masalah-masalah dalam implementasi kebijakan Reforma Agraria menurut Kiagus bermuara dari masih dominannya kuasa negara atas tanah yang mendorong kepemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan lewat kebijakan-kebijakan sektoral yang menghambat distribusi kepemilikan tanah yang adil.
Asas domein dan kebijakan sektoral menurutnya jadi dua masalah utama dari upaya Reforma Agraria sejak masa Soekarno hingga pasca reformasi. Lewat asas domein, Kiagus yakin negara bisa mengklaim sebidang tanah apabila satu pihak tidak memiliki bukti-bukti kepemilikan secara hukum.
“Asas ini berlaku sejak disahkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet dan aturan pelaksanaannya Agrarische Besluit) pada 1870 di masa kolonial Belanda,” jelasnya.
“Pemerintahan Soekarno sempat berusaha melakukan menafsirkan ulang asas domein untuk membagikan tanah kepada para petani penggarap, petani gurem, dan buruh tani,” tambahnya lagi.
Sayangnya, lanjut Kiagus, rezim Orde Baru di bawah Soeharto kembali menggunakan kuasa negara atas tanah untuk mendukung kepemilikan lahan oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan. Kebijakan agraria sejak saat itu dinilai hanya mengutamakan sektor-sektor tertentu untuk dapat menguasai tanah secara cepat dan besar-besaran.
Logika sektoral menurutnya memunculkan ketimpangan alokasi lahan antara pihak korporasi dan masyarakat tercatat cukup tinggi pada 2019. Misalnya, dengan membuat kebijakan agraria yang selaras dengan aturan pengembangan sektor tertentu seperti Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri, UU Pertambangan, UU Sumber Daya Air dan lain-lain.
“Kebijakan Reforma Agraria pada era Reformasi pun masih mengutamakan sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan dan kehutanan,” jelasnya.
Di sektor perkebunan, logika sektoral yang muncul adalah tercatatnya tanah yang dikuasai korporasi mencapai 15 juta hektar; sedangkan di sektor pertambangan, korporasi memegang kuasa lahan seluas 13,75 juta hektar.
Ia membeberkan bahwa hingga tahun 2018, pemerintah telah memberikan izin Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Penguasaan Hutan (HPH), dan Izin Pinjam Pakai untuk Usaha Pertambangan seluas 40,46 juta hektar kepada korporasi.
Tanah untuk swasta
Pendekatan sektoral di atas, menurut Kiagus, menunjukkan bahwa kebijakan Reforma Agraria di Indonesia yang masih mengutamakan kepentingan swasta. Hal ini terlihat dari program sertifikasi tanah pemerintah.
Dari catatan Kiagus diketahui bahwai lewat program sertifikasi ini, pemerintah membagikan 4,5 juta sertifikat tanah sebagai tanda kepemilikan. Tapi kebijakan ini memiliki beberapa masalah. Pertama, legalisasi aset tidak menciptakan hak baru untuk rakyat, justru sebaliknya memperkuat konsentrasi penguasaan lahan oleh korporasi dan petani kaya.
“Hal ini terjadi karena tanah terbuka untuk berpindah tangan, dan karena tidak adanya aturan tegas yang melarang penjualan dan pengalihan pemilikan lahan kepada pihak lain,” jelasnya.
Kata Kiagus, Indonesia sebenarnya telah memiliki UU Pembatasan Lahan Pertanian yang dikeluarkan pada masa Soekarno. Aturan ini mengatur luas lahan pertanian minimal dan maksimal yang bisa dimiliki petani dan keluarganya, tergantung jenis tanah dan kepadatan penduduk.
UU Pembatasan Lahan tersebut masih berlaku, namun tidak berjalan efektif. Lemah dan kurangnya mekanisme pengawasan membuat peraturan pembatasan luas maksimum tanah tidak efektif. Akibatnya program sertifikasi tanah hanya mendorong penguasaan tanah berskala besar di tangan segelintir orang yang berkuasa saja.