INDONESIA – Kejayaan Tanah Karo tak pernah kembali setelah Taktik Bumi Hangus, skenario dari Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk memenangkan Agresi Militer Belanda I dikumandangkan.
Tanah Karo Lautan Api, tercatat dalam sejarah tapi tak pernah diingat. 53 Kota yang terdiri dari ratusan ribu rumah dan ratusan rumah adat dibakar oleh pemiliknya demi terciptanya Indonesia Merdeka.
21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran di kawasan Medan. Serangan yang disebut dengan Polisionel Actie ini merupakan agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia yang baru merdeka 2 tahun.
Dalam situs Karokab.go.id diceritakan bahwa Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta saat itu berada di Pematang Siantar mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Utara Muhammad Hasan pada tanggal 23 Juli 1947.
Dari sana, Hatta mengirimkan pesan kepada para pemimpin perjuangan untuk terus berperang melawan musuh sembari memberikan petunjuk dan arahan untuk meghadapi agresi militer Belanda yang baru dua hari dilancarkan.
Saat itu, Hatta harus melanjutkan perjalanan ke Bukit Tinggi harus batal ke Aceh karena Tebing Tinggi sudah jatuh ke tangan Belanda.
Baca juga: Taktik Bumi Hangus Adalah Kejahatan Perang Terhadap Rakyat Sipil
Dalam perjalanannya Ia harus melewati rute seperti Berastagi – Merek – Sidikalang – Siborong-Borong – Sibolga – Padang Sidempuan dan Bukit Tinggi.
Di Berastagi, Hatta sempat mengadakan resepsi kecil ditemani Gubernur Sumatera Utara, Bupati Karo Rakutta Sembirinf, Komandan Resimen I Letkol Djamin Ginting, Komandan Laskar Rakyat Napindo Halilintar, Mayor Selamat Ginting, Komandan Laskar Rakyat Barisan Harimau Liar Payung Bangun dan para pejuang lainnya. Mereka semua bertemu di Grand Hotel Berastagi.
Hilangnya Rumah-Rumah Warga Karo Dipuji Oleh Hatta
Tak lama setelah itu, Berastagi dan Kabanjahe jatuh ke tangan Belanda. Bupati Tanah Karo Rakutta Sembiring memindahkan Ibu Negeri Kabupaten Karo ke Tiga Binanga, tepatnya pada tanggal 1 Agustus 1947.
Meski demikian, sehari sebelum tentara Belanda menguasai Berastagi dan Kabanjahe, pesan keluar dari Soekarno dan Hatta yang isinya agar Kabanjahe, Berastagi beserta 51 kota lainnya di bumi hanguskan dengan alasan agar tidak jadi markas Belanda.
Saat itu, Rakyat Tanah Karo membakar rumah mereka yang besar layaknya istana dengan hati yang hancur.
Taktik Bumi Hangus adalah pengorbanan terbesar rakyat Tanah Karo terhadap pemerintahan Indonesia.
Rakyat dengan sukarela membakar apa saja yang dimiliki termasuk desa dengan segala isinya.
Rumah adat beratap ijuk yang telah dibangun dengan cara gotong royong, semua menjadi abu dan tidak berbekas
31 Juli 1947 terjadilah peristiwa Tanah Karo Lautan Api. Dan pengorbanan yang begitu besar ini mendapat pujian dari Mohammad Hatta pada tanggal 1 Januari 1948 lewat surat.
Bagaimana Cara Rakyat Karo Membakar Rumahnya?
Rumah-rumah Rakyat Karo kala itu dibakar dengan minyak tanah yang disimpan dalam botol. Bentuk dan ukuran rumah Rakyat Karo sangat besar.
Atap ijuk yang dipakai oleh tiap-tiap rumah dijadikan sebagai titik picu kebakaran. Dengan penuh sesak, para pejuang membagikan botol isi minyak lampu sebagai alat rumah mereka sendiri. Perintah pembakaran ini dipimpin langsung oleh Selamat Ginting.
Setiap pejuang Tanah Karo, baik tentara, laskar atau pun rakyat lewat surat perintah yang dibuat oleh pemerintah Indonesia harus membakar rumah pribadi mereka sendiri demi terciptanya cita-cita luhur kemerdekaan, yaitu Indonesia Merdeka. Sayangnya, peristiwa memilukan ini tidak tercatat dalam sejarah Indonesia.
Taktik Bumi Hangus Yang Tak Pernah Bisa Mengembalikan Kejayaan Tanah Karo Di Masa Lalu
Pembakaran dimulai di Kabanjahe, semua daerah-daerah yang dicurigai akan jadi tempat bagi musuh dibakar saat itu.
Ternyata, dari nama-nama kota yang habis terbakar, diketahui bahwa tak ada tempat yang tak bergelora karena api.
Intinya, semua wilayah hangus tak berbekas demi Indonesia Merdeka saat itu. Dalam satu malam saja, Tanah Karo hilang tak berbekas menyisakan ratusan ribu jiwa yang harus mengungsi.
Akibat serangan Belanda yang begitu gencar, pada tanggal 25 November 1947, Tiga Binanga yang jadi kota pemerintahan yang baru juga jatuh ke tangan Belanda. Padahal saat itu Pemerintah Karo sudah berhasil mencetak uang untuk perekonomian.
Uang yang dicetak tersebut berlaku dan digunakan sebagai pembayaran yang sah di Tanah Karo.
Salah satu uang yang berhasil dikeluarkan kala itu adalah uang kertas senilai Rp1.000. Cetakannya sangat sederhana.
Karena perang, Bupati Karo Rakutta Sembiring memindahkan Ibu Negeri ke Lau Baleng.
Disana, seluruh pengungsi yang berdatangan dari berbagai negeri di tampung dan diberi makan oleh pemerintah Kota Tanah Karo. Uang pun kembali dicetak untuk membiayai perjuangan.
Ratusan rumah adat Karo hangus karena peristiwa yang mengerikan ini. Berikut adalah desa yang jadi target Taktik Bumi Hangus kala itu, diantaranya Desa Merdeka, Desa Cinta Rakyat, Desa Payung, Desa Berastepu, Desa Batukarang, Desa Sarinembah, Desa Perbesi, Desa Kuala, Desa Kuta Bangun, Desa Pergendangen, Desa Keriahen, Desa Singgamanik, Desa Kineppen, Desa Munthe, Desa Suka, Desa Seberaya, Desa Sukanalu, Desa Kabanjahe, Desa Berastagi, Desa Kacaribu, Desa Kandibata, Desa Laubaleng, Desa Susuk, Desa Tiganderket, Desa Kutabuluh, Desa Tanjung, Desa Gurukinayan, Desa Selandi, Desa kiduoen, Desa Gunung Manumpak, Desa Toraja Gugung, Desa Selakar, Desa Raya Tengah, Desa Tiga Binanga, Desa Ajinembah, Desa Tiga Panah, Desa Barus Jahe, Desa Tiga Jumpa, Desa Merek, Desa Tongging, Desa Geringging, Desa Ergaji, Desa Barungkersap, Desa Tanjung Beringen, Desa Naman, Desa Sukandebi, Desa Sigarag-garang, Desa Ndeskati, Desa Gamber, Desa Geruhguh, Desa Suka Julu, Desa Kita Kepar, Desa Mbangsibabi.
Hingga sekarang hanya sedikit rumah adat yang tersisa. Kejayaan masa lalu Tanah Karo pun sirna ditelan satu malam purnama yang penuh dengan api perjuangan. Tanah Karo terbakar dan hangus.
Kota (Desa) Lingga Yang Tak Terbakar Karena Kedekatan Sibayak Lingga Dengan Belanda
Situs Mejuahjuah menyebutkan bahwa Taktik bumi hangus Perkampungan Karo terjadi pada Agresi I Kolonial Belanda pada tanggal 25 Nopember 1947.
Ketika itu rata-rata semua kampung di Tanah Karo membakar rumah mereka dan mengungsi.
Alasan mereka membakar rumah adat itu agar jika Belanda datang mereka tidak menempati rumah penduduk.
Menurut salah satu sumber sejarah. Di desa Lingga tidak terjadi pemusnahan rumah adat karena ketika itu Sibayak Lingga sangat dekat dengan Belanda.
Sibayak mengimbau agar anak kampungnya tidak mengungsi karena dia menjamin keamanan di kampungnya.
Itu sebabnya rumah adat di Lingga bisa bertahan. Desa Lingga terletak tak jauh dari Kota Kabanjahe.