THE EDITOR – Budaya bisa jadi alat untuk menyatukan bangsa sehingga konflik antar etnis seperti yang pernah terjadi di tahun 1998 dapat dihindari.
Demikian dikatakan oleh Maestro Tari Didik Nini Thowok saat berbincang dengan The Editor dalam ajang pameran Kongsi di Museum Indonesia beberapa waktu lalu.
Didik mengatakan bila Ia memang sangat ingin memperkenalkan kebudayaan Indonesia yang mendapat pengaruh dari China.
Menurutnya, pengetahuan yang mendalam tentang budaya membuat orang sadar untuk menahan diri dan saling menghargai meskipun berbeda. Sehingga dalam peristiwa genting sekalipun, masyarakat, khususnya anak muda tidak mudah diadu domba.
Sayangnya, ketertarikan anak muda yang tinggal di kota-kota besar tentang budaya sangat kecil. Ia berharap besar muncul generasi baru yang memiliki keinginan untuk mempelajari budayanya secara detail karena budaya Indonesia tidak kalah dengan negara lain.
“Saya memang ingin memberitahu bila banyak budaya Indonesia yang terpengaruh budaya dari China. Saya sangat senang memberitahu ini dari tarian dan budaya. Salah satunya dari Bali lewat Tari Barong Landung,” ungkap Didik.
Khusus untuk Tari Barong Landung ini, ternyata di tahun 2004 lalu Didik Nini Thowok adakan penelitian khusus di Bali, tepatnya di Pura Dalem Balingkang, Kintamani.
Pura ini ternyata banyak didatangi oleh orang China yang tinggal di Bali. Ornamen yang dipakai di bagian-bagian pura ini juga bercirikan Tionghoa dengan nuansa dominan kuning dan merah.
“Salah satu cara untuk mencegah konflik semacam itu (peristiwa 1998) terjadi adalah dengan mempelajari akulturasi budaya Tionghoa yang ada di Indonesia,” kata Didik.
PEMERINTAH: PENGETAHUAN TENTANG BUDAYA SANGAT PERLU

Staf Khusus Bidang Sejarah dan Perlindungan Warisan Budaya Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia Basuki Teguh Yuwono juga membenarkan hal tersebut.
Ia dengan tegas mengatakan bila peristiwa berdarah di tahun 1998 yang menyakiti hati masyarakat Tionghoa tidak akan terjadi kembali bila kesadaran tentang perbedaan dapat ditumbuhkan di hati orang-orang.
“Misalnya, yang main barongsai kita lihat banyak orang Jawa dan kota lain. Kung Fu juga sangat cair di masyarakat, (makanan) cap cay juga banyak ditemukan di warung orang Jawa, termasuk lumpia. Pemahaman ini bila dibuka secara luas maka masyarakat Indonesia semua saudara,” ungkapnya saat ditemui di kantornya.
Basuki juga tidak setuju bila para pekerja di bidang kebudayaan dituduh sebagai orang yang mengeksploitasi budaya. Hal ini Ia katakan karena banyak tudingan yang tidak berdasar diberikan kepada orang-orang yang mampu mengemas kebudayaan menjadi sebuah tontonan yang menarik dan menghasilkan.
“Jangan serta merta juga hanya melihat budaya sebagai komersil saja,” katanya.
“Nilai-nilai di dalamnya harus dipegang, tapi tetap harus tumbuh,” tambahnya.
Ia mengingatkan bila saat ini masyarakat masih belum membangun komunikasi yang lebih luas tentang cara menghormati dan menghargai kebudayaan yang beragam di Indonesia. Namun yang lebih mengejutkan, dari sudut pandang Basuki, justru penghargaan akan budaya di Tanah Air umumnya lebih cair di lingkup agama.
BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ‘CUAN’ YANG MENGUNTUNGKAN
Basuki mengatakan bila selama ini budaya belum dijadikan sebagai mata pencaharian yang menghasilkan keuntungan secara ekonomi di Indonesia. Padahal, Indonesia adalah satu dari sekian negara yang memiliki kekayaan budaya di dunia.
“Saat ini kebudayaan sebenarnya memiliki ekosistem dampak yang sangat luas. Sering kali mengukur dampak ekonomi kebudayaan itu hanya terukur murni dari kebudayaanya. Sedangkan, kebudayaan ketika dikemas dalam perspektif pariwisata, dalam perspektif ekonomi kreatif dan dapat bila dikemas dala aktivitas-aktivitas yang lain maka dampak ekosistemnnya sangat luas terhadap aspek ekonomi. Sayangnya, sementara ini indikator yang dipakai untuk menilai itu masih sebatas pengertian budaya itu sendiri,” ungkap Basuki.
Agar kebudayaan mampu menjadi sumber uang, Basuki menilai masyarakat harus melihat dari sudut pandang yang luas. Misalnya, dalam pertunjukan seni kadang masyarakat kurang menyadari aktivitas ekonomi yang berputar selama pagelaran berlangsung.
Menurutnya, ruang ekonomi yang muncul dalam sebuah pertunjukan seni tidak terbatas hanya di konsumsi atau uang untuk membayar jasa seniman, namun juga merambah pada kostum dan properti (benda yang dipakai saat pentas).

Selama ini menurutnya tidak ada indikator yang dipakai untuk menilai besaran keuntungan yang akan didapatkan dari sebuah pertunjukan. Selain itu, kebanyakan orang masih mengira kebudayaan hanya untuk konsumsi masyarakat asing, jadi pementasannya pun hanya dilakukan di luar negeri saja.
Namun, ternyata Basuki menilai perputaran ekonomi seni di dalam negeri justru tidak kalah tingginya. Ia setuju bila masyarakat asing juga tidak sabar datang ke Indonesia untuk melihat kekayaan budaya lokal sebagaimana yang terjadi di Thailand, Korea Selatan dan Jepang.
Ia menyarankan agar setiap individu dapat melihat kebudayaan sebagai subjek dan membuatnya jadi lebih dinamis tanpa meninggalkan maknanya.
“Bahwa kebudayaan itu tidak semata-mata milik komunitas saja, tapi harus bersinergi dengan banyak pihak, lembaga dan sebagainya. Dan tidak ada lagi kekakuan bahwa kebudayaan itu murni tanggung jawab pemerintah, tapi ada hulu dan hilir ekosistem kebudayaan bagian setiap pihak,” ungkapnya.
Basuki juga sangat yakin bila kebudayaan di masa depan akan sangat menguntungkan bila memiliki manajemen yang kuat. Bila saat ini belum begitu terlihat karena tata kelola kebudayaan masih dilihat sebatas objek saja.