THE EDITOR – Sang Maestro Tari Didik Nini Thowok memperkenalkan sebuah karya istimewa yang berbeda dari sebelumnya. Di acara Imlek atau Tahun Baru China 2025 ini, Sang Maestro justru membawakan tari dari Bali untuk menghibur para menteri, tamu VVIP dan VIP yang hadir di Museum Nasional Jakarta pada 10 Februari kemarin.
Meski hanya 15 menit, namun Didik dengan karyanya yang unik tersebut berhasil membuat para tamu terpana lewat sebuah tarian berjudul ‘Cinta Meretas Batas’ yang lebih dikenal oleh masyarakat Bali sebagai Tari Barong Landung.
Karya yang fenomenal ini Ia bawakan bersama dengan dua seniman tari legendaris asal Bali juga bernama Professor Dr. I Wayan Dana yang merupakan seorang Maestro Tari, Seniman sekaligus Dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Dr. Ni Nyoman Sudewi dari ISI Yogyakarta.
Keduanya yang berasal dari Bali tersebut dipilih oleh Didik Nini Thowok untuk memeriahkan acara Imlek atau Tahun Baru China.
MENGAPA DI IMLEK 2025 INI, DIDIK NINI THOWOK MEMILIH TARI BARONG LANDUNG DARI BALI?

Didik, yang ditemui oleh The Editor secara ekslusive di ruang ganti Museum Nasional pada 10 Februari 2025 kemarin mengatakan bila Ia memang sangat ingin memperkenalkan kebudayaan Indonesia yang mendapat pengaruh dari China.
Menurutnya, pengetahuan tentang akulturasi budaya ini sangat penting bagi generasi muda yang saat ini menurutnya tidak terlalu tertarik untuk belajar tentang budaya.
“Saya memang ingin memberitahu bila banyak budaya Indonesia yang terpengaruh budaya dari China. Saya sangat senang memberitahu ini dari tarian dan budaya. Salah satunya dari Bali lewat Tari Barong Landung,” kata Didik memulai pembicaraannya.
Khusus untuk Tari Barong Landung ini, ternyata di tahun 2004 lalu Didik Nini Thowok adakan penelitian khusus di Bali, tepatnya di Pura Dalem Balingkang, Kintamani.
Pura ini ternyata banyak didatangi oleh orang China yang tinggal di Bali. Ornamen yang dipakai di bagian-bagian pura ini juga bercirikan Tionghoa dengan nuansa dominan kuning dan merah.
Di pura ini, roh yang dipuja adalah Raja Sri Jayapangus, Kang Ching Wee, seorang puteri saudagar kaya asal Tiongkok dan Dewi Danau Batur bernama Dewi Dhanu.
Cerita yang berlatar belakang di masa kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Nusantara ini cukup romantis dan tragis karena Kang Ching Wee tidak kurun memiliki anak sesaat setelah menikah dengan Raja Sri Jayapangus.
Dalam kebudayaan orang Hindu, bila sebuah keluarga tak kunjung memiliki anak, maka, sang suami akan pergi bertapa ke pura yang khusus diperuntukkan untuk mereka yang mencari keturunan.
Kang Ching Wee mengizinkan suaminya, Raja Sri Jayapangus untuk bertapa di Gunung Batur yang jauh lokasinya dari keraton.
Sayangnya, dalam perjalanan tapa itu, Sang Raja ternyata jatuh cinta dengan Dewi Danau Batur bernama Dewi Dhanu dan jatuh cinta.
Mereka dikarunia seorang anak laki-laki yang ditunggu lama oleh Sang Raja.

(Dari kiri) Direktur Institut Francis Indonesia Jules Irrmann, Dr. Ni Nyoman Sudewi dari ISI Yogyakarta, Sang Maestro Didik Nini Thowok, Istri Wamen Kebudayaan Cynthia Riza, Wamen Kebudayaan Giring Nidji dan Atase Kebudayaan Prancis untuk Indonesia Charlotte Esnou(FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)
Sementara itu, Puteri Kang Ching Wee yang mulai resah, akhirnya memutuskan untuk mencari suaminya ke Gunung Batur. Sesampainya disana, Ia terkejut dan marah karena mendapati suaminya tengah menikmati pernikahan lain.
Kang Ching Wee dan Dewi Dhanu akhirnya saling menyerang. Karena sama-sama sakti, tidak ada yang kalah dan tak ada yang menang.
Namun, dikatakan bila para dewata marah besar dan turun ke bumi untuk mengutuk Raja Sri Jayapangus menjadi Barong Landung.
Terkejut melihat kemarahan para dewata, Putri Kang Ching Wee pun reda amarahnya dan mulai meminta agar dewa juga menghukumnya dengan mengubahnya menjadi barong untuk bisa mendampingi suaminya selamanya.
Permintaan Sang Puteri dikabulkan sehingga muncullah satu pasang Barong Landung.
Dewi Dhanu sendiri ditugaskan oleh dewata untuk mengarak dua barong tersebut ke desa-desa dan menjelaskan tentang arti dan keberadaanya kepada masyarakat.
SENIMAN BALI SENANG BERPARTISIPASI UNTUK MERIAHKAN IMLEK

Ni Nyoman Sudewi dari ISI Yogyakarta mengaku sangat senang bila diminta oleh Didik Nini Thowok untuk memeriahkan acara Imlek lewat lakon Tari Barong Landung.
Sebagai seorang seniman berdarah Bali, Ia mengatakan bila Tiongkok memberi pengaruh yang cukup besar bagi kebudayaan Bali yang bertahan hingga sekarang.
“Dengan Mas Didik itu karena sudah terbiasa berkolaborasi ya, jadi saya senang sekali. Bali mendapat pengaruh China juga, uang kepeng yang dipakai untuk upacara di Bali itu juga kan dari pengaruh China juga kan,” katanya.
Untuk tarian ini, Ni Nyoman mengatakan Ia hanya latihan satu kali saja. Tapi, bagi dia, menari tidak sekedar menggerakkan tubuh dengan aturan yang sudah ada saja, melainkan juga sebuah kolaborasi di atas panggung yang membutuhkan keselarasan tinggi.
“Frekuensinya harus sama dan kita tidak ingin menonjol sendiri-sendiri,” kata Ni Nyoman berbarengan dengan Didik Nini Thowok.
Keakraban ini, kata Ni Nyoman, hanya bisa terjadi karena Didik Nini Thowok memang sangat rendah hati. Sehingga, panggung yang seharusnya ditujukan untuk Sang Maestro akhirnya berubah karena Didik sendiri menyusun koreografi yang membuat siapapun yang menari di pentas bersamanya terlihat menyatu.
“Berbagi sajalah, jangan egois banget gitu lho,” kata Didik langsung menimpali kata-kata Ni Nyoman Sudewi.
Hal serupa juga dikatakan oleh Professor I Wayan Dana. Selama karirnya, Ia mengaku cukup banyak menghabiskan waktu dengan Didik Nini Thowok dan Ni Nyoman Sudewi. Tetapi, Ia mengaku tak pernah melibatkan egonya meski diminta langsung untuk menari untuk Imlek.
“Pakai hati,” kata Professor Wayan.
Sebagai seorang pengajar tari Bali, Ni Nyoman Sudewi dan Professor Wayan juga mendorong penari muda keturunan Tionghoa untuk mempelajari sejarah mereka seperti Didik Nini Thowok yang mampu berkarya hingga ke luar negeri hingga usianya sekarang.
PERLENGKAPAN TARI YANG BERAT

Perlengkapan tari yang beat dan rumit tak membuat para seniman yang tampil di panggung Imlek Kongsi 2025 merasa kesulitan. Setiap hiasan kepala para penari yang tampil di malam itu rata-rata memiliki berat minimal 1 kilogram. Tapi, ketiganya tampak santai membawakannya saat berjalan menuju panggung yang letaknya cukup jauh dari ruang rias.
Didik sendiri mengatakan bila riasan kepalanya tidak seberat yang dipakai oleh Professor Wayan yang memerankan Raja Sri Jayapangus. Khusus untuk tarian ini, lanjutnya, dibutuhkan gerak langkah kaki yang cepat. Jadi, Ia harus menjaga jarak dengan penari lainnya yang juga memakai mahkota agar tidak terkena pedang yang dipakai saat menari.
INSTITUT FRANCIS INDONESIA KAGUM PADA KEKAYAAN BUDAYA INDONESIA
Sementara itu, Direktur Institut Francis Indonesia (IFI) Jules Irrmann mengatakan keberagaman suku dan budaya yang dimiliki oleh Indonesia mengingatkannya akan negaranya Prancis.
Jules juga mengungkapkan kekagumannya pada seniman yang menampilkan tarian di acara Kongsi 2025 ini. Menurutnya, para penari yang hadir di ruang VVIP malam itu sangat brilian karena kolaborasi panggung yang mereka tunjukkan sangat sempurna.
“Budaya Prancis juga banyak dipengaruhi oleh Rusia, Celtic dan Jerman. Sama halnya seperti Indonesia yang budaya lokalnya juga dipengaruhi oleh China. Menurut saya penampilan malam ini indah sekali dan Sangat kaya akan budaya,” tandas Jules saat dimintai pendapatnya oleh The Editor.