JAKARTA – Sultan Iskandar Muda, dan leluhurnya dari Aceh sangat takut pada Kerajaan Aru yang berada di Sumatera karena kekuatan politiknya yang besar serta mampu menguasai Selat Malaka selama berabad-abad.
Demikian dikatakan oleh Dr. Suprayitno, sejarawan dan dosen yang fokus pada penelitian situs di wilayah Sumatera dalam bukunya berjudul “Benteng Putri Hijau Dalam Sejarah Sumatera Abad 16 M”.
Izin pengutipan buku tersebut telah diberikan oleh penulis Kepada Redaksi The Editor.
Siapa Kerajaan Aru?
Kerajaan Aru telah dicatat dalam sumber China, Arab dan Eropah, yaitu Portugis sejak abad 13 sd abad 17 M.
Secara historis Kerajaan Aru sudah ada paling tidak sejak abad ke-13 M ketika utusan kerajaan ini tiba di Istana Kaisar Kubilai Khan pada tahun 1282 dan 1290 M.
Keberadaan kerajaan Aru juga direkam dalam sejarah Jawa yaitu Singosari dan Majapahit.
Kedua kuasa Jawa ini pernah memasukkan Aru sebagai negeri di bawah vasalnya melalui ekspedisi Pamalayu Singosari 1292 dan Sumpah Palapa Patih Gadjah Mada oleh Kerajaan Majapahit tahun 1365 M.
Aru juga muncul dalam catatan bangsa Persia, Faidullah bin Abd Kadir Rasyduddin dalam Jamiul Tawarikh tahun 1310 Masehi.
Pada abad yang sama, Aru juga ada disebut dalam sumber pribumi, Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu yang menyebutkan bahwa Aru sudah di Islamkan oleh Fakir Muhammad dan Nakhoda Ismail pada sekitar tahun 1290-an.
Pada kurun maktu antara abad ke-13 hinca abad ke-14 M diperkirakan Kerajaan Aru pernah mengalami masa kejayaan dengan bandar perdagangannya di Kota Cina (muara Sungai Belawan dan Deli) yang ramai dikunjungi beragam bangsa.
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh penulis buku Milner yang terbit tahun 1978.
Disebutkan bila pada abad ke 13 M, Faidullah bin Abd Kadir Rasyduddin juga menyebutkan bahwa Aru sudah pulih kembali perdagangannya.
Kerajaan Aru Muncul Sebagai Kerajaan Besar di Abad ke-15

Memasuki abad ke-15 Kerajaan Aru tampaknya mulai muncul menjadi kerajaan terbesar di Sumatera, dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka.
Munculnya utusan-utusan dari Kerajaan Aru pada tahun 1419, 1421, 1423, dan 1431 di istana Kaisar China, dan kunjungan Laksamana Cheng Ho yang muslim itu membuktikan pernyataan tersebut.
Aru menjadi bandar perdagangan yang penting di mata kaisar China. Saat itu Kaisar China membalas pemberian raja Aru dengan memberikan hadiah berupa kain sutera, mata uang (siling) dan juga uang kertas.
Mengikut pendapat penulis sejarah Selamat Mulyana yang terbit pada tahun 1981 di halaman 18 bukutnya disebutkan bahwa saat itu negeri-negeri di Asia Tenggara yang mengirim utusan ke China dipandang sebagai negeri merdeka.
“Hanya negeri yang merdeka saja yang berhak mengirim utusan ke negeri China untuk menyampaikan upeti atau persembahan/surat kepada Kaisar China,” tulis Suprayitno.
Mulai Terlibat Perang Dengan Aceh
Memasuki abad ke 16 M, Aru mulai terlibat dalam perang dengan kekuatan lain seperti Aceh, Malaka, Portugis dan Johor untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka.
Pada masa ini Aru dikenal dengan negeri perompak. Menurut penulis sejarah Pires tahun 1944 di halaman 147, penguasa Aru melakukan penjarahan, bukan perdagangan.
Baca Juga: Deli, Kerajaan Boneka Dibentuk Oleh Sultan Iskandar Muda Untuk Menghapus Sejarah Kerajaan Aru di Dunia
Dia tinggal di pedalaman kawasan berawa yang sulit ditembus, dan rakyatnya pergi merampok di laut. Berbagai barang rampasan dengannya karena sebagian armada dibayar olehnya.
Dengan posisinya di pedalaman mengindikasikan bahwa Aru pada masa ini menghadapi banyak musuh, khususnya dari Aceh.
Berperang Dengan Kerajaan Pasai
Keempat kekuatan politik di tepian Selat Melaka ini pernah saling bersekutu dan lain waktu juga saling bantai.
Aru tercatat juga pernah terlibat konflik dengan Kerajaan Pasai yang berasal dari Sumatera karena Sultan Pasai Zainal yang merupakan kemanakan dari Raja Aru dibunuh.
Akibatnya orang Aru yang ada di Kerajaan Pasai balas membunuh Raja Pasai yang baru diangkat menggantikan Zainal. Namun Kerajaan Aru dengan Kerajaan Pasai dan Portugis kadang bekerja sama.
Hal ini terjadi sekitar tahun 1521 saat Sultan Aceh, Ibrahim menyerang Portugis di Pasai. Benteng Portugis berhasil diduduki oleh pasukan Aceh.
Sebagian orang Portugis, Sultan Pasai, dan Sultan Pidi melarikan diri ke Melaka dan Aru. Dalam pelarian itu, mereka bertemu dengan tiga puluh kapal bermuatan bahan makanan yang dikirim Sultan Aru.
Sultan Aru sendiri sedang dalam perjalanan melalui darat beserta empat ribu orang pasukannya untuk membantu Pasai dan Portugis.
Sejarah ini dicatat oleh Marsden tahun 1999 di halaman 242, dan 247.
Kapal Aru Sangat Cepat Dan Ditakuti Penguasa Melaka
Aru juga sering merampok dan menculik di Melaka. Kapal-kapal Aru sangat cepat dan ditakuti oleh punguasa Melaka. Selama abad ke-16, menurut catatan Pires tahun 1944, Aru selalu berperang dengan Malaka dan telah mengambil banyak penduduknya.
Dia menyerang sebuah desa dan mengambil segalanya, bahkan para nelayan.
“Orang-orang Melayu selalu siaga menghadapi Aru, karena permusuhan itu sudah berlangsung lama dan selalu terjadi,” ungkap Suprayitno.
Karena itu ada pepatah yang mengatakan bila “Aru melawan Malaka, Aceh melawan Pidir’.
Semua bangsa ini saling bertarung satu sama lain dan mereka sangat jarang berteman.
Namun Ketika Melaka di kuasai Portugis, Kerajaan Aru juga pernah menjalin hubungan erat dengan Sultan Melaka di bawah kekuasaan Raja Mahmud Syah yang mundur di Bintan.
Aliansi Aru dengan Johor dan negeri Melayu lainya seperti Jambi, Kampar dan Indera Giri pernah mampu mengusir Aceh dari Aru pada tahun 1540 setelah sebelumnya Aru dikuasai Aceh pada serangan tahun 1539.
Aru kemudian hancur dan hilang dari peta sejarah mulai abad ke 17 M, akibat serangan Aceh masa Iskandar Muda. Pada kurun waktu inilah dimulai episode tentang kisah Putri Hijau dan BPH di Deli Tua.
Sultan Iskandar Muda Takut Pada Kerajaan Aru
Setelah kemenangannya, Sultan Iskandar Muda tidak ingin ada nama Aru di dunia.
Hal ini terjadi karena menurut Sultan Iskandar Muda, leluhurnya sangat takut pada kerajaan ini pasalnya Kerajaan Aru memiliki kekuatan politik besar yang bekerja sama dengan Portugis, dan ditakuti oleh banyak bangsa di Selat Malaka.
Perlu diketahui bahwa Kerajaan Aru pada periode ini dikenal sebagai Negeri Bajak Laut.
Karena itu, kata Suprayitno, penghancuran Kerajaan Aru disertai dengan diangkutnya 22.000 orang rakyatnya ke Aceh dari Deli, dan tempat-tempat lain yang dikuasai oleh Sultan Iskandar Muda.
“Sultan Aceh ini jelas-jelas berencana untuk menghancurkan Aru, dan dia mungkin berniat hidak hanya untuk mengurangi penduduk negara itu tetapi untuk menghilangkan nama Aru selama-lamanya dan diganti dengan Kerajaan Deli,” tulisnya.
Catatan tentang sejarah ini juga disebut oleh Milner yang diterbitkan pada tahun 1978 di halaman 18-19.
Sebagai sebuah negeri baru, lanjutnya, penguasa Deli tidak pernah merujuk ke Aru dalam silsilah dinasti mereka.
Tetapi ke Gotjah Pahlawan, seorang kesatria Aceh yang berasal dari India.