JAKARTA – Usai pandemi Covid-19, krisis pangan kini ikut menerpa dunia. Pemerintah tentu tidak tinggal diam. Pemerintah hadir untuk menghadapi krisis pangan dunia, sigap bersiap, dan memastikan agar ketahanan pangan nasional selalu terjaga atau bahkan meningkat.
Salah satu terobosan Kementerian Pertanian, program unggulan Ditjen Perkebunan, Sagunesia “Sagu untuk Indonesia”, dinilai menjawab tantangan krisis pangan dunia.
Potensi sagu Indonesia adalah 85% dari total sagu dunia. Sagu memiliki potensi yang luar biasa karena, siapa yang tak kenal sagu?
Selain sebagai bahan baku industri, bahan pakan, dan sumber energi, sagu juga merupakan bahan pangan yang dapat dikreasikan menjadi berbagai olahan makanan.
“Direktorat teknis harus mempersiapkan langkah dan prediksi yang akan terjadi ke depannya, agar kebun yang ada saat ini bisa memenuhi kebutuhan ke depannya,” ujar Direktur Jenderal Perkebunan Andi Nur Alam Syah, Selasa (5/7).
“Perlunya perkuat teknologi agar menghasilkan produksi dan produktivitas yang berkualitas dan bernilai tambah, serta kejelasan target pasar atau industrinya, sehingga UKM atau koperasi yang sudah kita bangun terjamin atau memiliki target pasar yang jelas,” paparnya.
“Apalagi di tengah perubahan iklim yang terjadi, pandemi covid, dan akibat perang Ukraina-Rusia yang tak dapat dipungkiri mempengaruhi distribusi pangan dunia. Potensi sagu Indonesia yang besar ini dapat menjadi solusi di tengah krisis ini,” sambungnya kemudian.
Tidak hanya itu, Andi Nur juga mengatakan bahwa pengembangan sagu memerlukan prmberdayaan petani lokal serta perhatian terhadap positioning dan kemasan produk sagu agar dapat bersaing di pasar global, dengan penguatan pasar produk turunannya termasuk melalui e-commerce.
Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan), Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan bahwa pengembangan sagu memerlukan sinergi seluruh pihak, mulai dari pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha perkebunan, pamar praktisi, pekebun, serta pihak terkait lainnya.
“Selain itu, perlu penataan dari aspek perbenihan, infrastruktur, penyediaan alsintan yang akan digunakan untuk menghasilkan produk turunan sagu, perkuat koperasi atau kelembagaan pekebun, peningkatan SDM, dan mendorong pemanfaatan KUR kredit serta investasi,” paparnya.
“Diharapkan sagu dapat dikembangkan secara luas dan sebagai motor penggerak perekonomian negara,” tambahnya.
Menurut Prof. H.M. Bintoro, Pakar Sagu dan Ketua Masyarakat Sagu Indonesia, lahan pertanian terutama padi telah berkurang 2%.
Oleh sebab itu, sagu diharapkan dapat mengatasi permasalahan pangan di Indonesia maupun dunia.
Saat ini, konsumsi sagu lokal yang cukup tinggi tercatat di Meranti, Bangka, dan Kendari. Halmahera juga diketahui memiliki potensi konsumsi yang besar.
Di Konawe, Sulawesi Tenggara, petani sagu bisa memperoleh hingga Rp10–15 juta perbulan.
Sagu dimanfaatkan untuk menjadi beras sagu, kue, mie sagu, dan gula cair dari sagu. Mengingat teknologinya yang sudah tersedia, pembinaan pengawalan dalam pengembangannya dapat diperkuat.
Pengembangan sagu pun perlu diperhitungkan nilai keekonomiannya sehingga menarik bagi korporasi. Seperti sagu intercropping dengan palawija dan sayuran yang dapat menambah pendapatan petani.

Menurut Dwi Asmono, Praktisi Pelaku Usaha, Sampoerna Agro Tbk, mengembangkan potensi sagu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Pasalnya, dibutuhkan konsep pendanaan atau pembiayaan jangka panjang dan komitmen yang kuat.
Melihat kondisi pasar dalam negeri, maka diperlukan upaya meningkatkan kualitas produk pati dan mendorong ekspor dan regulasi sebagai insentif bagi pelaku usaha sagu.
Pada kesempatan yang sama, Prof Agnes Rampisela, Pakar Sagu serta dosen Universitas Hasanuddin, juga menyampaikan hal-hal terkait pengembangan gula cair sagu.
Pihaknya berfokus pada upaya mendorong sagu kering lewat pembibitan dan demo atau pembinaan terkait industri gula cair dari sagu.
“Sagu masyarakat Meranti Riau, 80% sagu diolah untuk pembuatan mie soun. Perlu meningkatkan packaging atau kemasan mie soun. Selain itu juga sudah ada pabrik mie gelas sagu di Bangka,” ujar Utama Kajo dari Masyarakat Sagu Indonesia.
“Dalam pengembangan sagu, perlunya dukungan mesin pengolahan sagu yang tepat sehingga kualitas hasil olahan bisa lebih baik serta didukung kemasan yang menarik di pasar global,” sambungnya.
Charles, pelaku usaha sagu dari Sagolicious, menyampaikan bahwa konsistensi atau keberlanjutan suplai sagu secara rutin sangat perlu dipertimbangkan.
Sebagai salah satu contoh, ada penawaran dari perusahaan Jepang yang sangat tertarik dengan sagu Indonesia, khususnya untuk bahan baku yang akan diolah menjadi bakso. Untuk itu, ketersediaan atau suplai bahan baku sangat penting dan harus jelas serta terjamin.
Ia juga berharap agar pemerintah memperhatikan infrastruktur daerah, contohnya infrastruktur di Papua yang perlu ditingkatkan untuk mengurangi biaya distribusi dan lainnya.
Terakhir, ia menyarankan agar awareness masyarakat terhadap sagu perlu ditingkatkan, baik di fasilitas umum atau lokasi tertentu seperti bandara, pameran, dan lainnya.
Prayoga suryadarma dari tim IPB menyampaikan, pengembangan sagu memerlukan pengembangan model agroindustri sagu berkelanjutan.
“Konsep pengembangan Sagunesia perlu diperkuat kembali melalui sinergi dengan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga lainnya,” ujar Muhammad Rizal Ismail selaku Kepala BBPPTP Ambon.
“Terkait lahan, sagu perlu dimasukan ke dalam UU No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, karena sagu termasuk komoditas pertanian yang perlu dilindungi,” sambungnya.
Mengingat masing-masing provinsi memiliki adat yang berbeda, Muhammad mengatakan bahwa ada baiknya korporasi petani dapat dimodifikasi sesuai budaya adat di daerahnya, “sehingga keterlibatan masyarakat dalam pengembangan sagu bisa lebih kuat”.
“Terkait infrastruktur/sarana prasarana, baik akses jalan dan ketersediaan listrik, perlu juga ditindaklanjuti untuk mendukung pengembangan sagu,” pungkasnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, potensi lahan sagu seluas 5.5 juta ha tersebar di sentra produksi sagu nasional, di antaranya Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Dalam penguatan pengembangan sagu, salah satunya penguatan hilirisasi atau pemasarannya, diperlukan skema kemitraan dan penguatan kelembagaan serta upaya untuk menjaga kepastian pasar dan harga.