26.4 C
Indonesia

Professor Sahid: Awal Kejatuhan Presiden Sukarno Dimulai dari Kelangkaan Beras

Must read

THE EDITOR – Awal kejatuhan Presiden Sukarno diawali dengan kelangkaan beras di Indonesia.

Professor Sahid Susanto dari Universitas Gadjah Mada mengatakan bila saat itu, tepatnya di tahun 1963, terjadi kelangkaan beras di pasar dan bila pun ada, maka masyarakat juga tak mampu untuk membelinya karena mahal.

Di tahun 1963, Professor Sahid yang waktu itu baru berumur 12 tahun mengatakan bila di Gunung Kidul, Yogyakarta sudah terjadi sangat kesulitan.

Untuk makan sehari-hari, banyak warga desa Gunung Kidul yang pindah ke Wonosari untuk mencari pekerjaan agar bisa makan. 

Satu per satu warga desa, katanya, menjual barang berharga miliknya seperti hewan ternak, kandang ternak, pintu dan jendela rumah, genteng rumah, kayu-kayu penopang rumah, dan sampai habis seluruh rumah untuk makan.

“Rumah orang tua saya kebetulan persis berhadapan dengan belakang pasar Argosari yang hanya dibatasi oleh pagar besi berduri. Saya melihat sendiri, setiap hari ada saja orang yang meninggal di pasar itu karena kurang gizi. Istilahnya waktu itu HO (hongerudim). Daging tubuh membesar tetapi kalau ditekan tidak kembali. Karena terlalu banyak minum saja,” ungkapnya kepada The Editor beberapa waktu lalu.

Saat itu, lanjutnya masyarakat di desanya makan makanan lain sebagai pengganti beras, yakni tiwul atau gaber (ampas tepung tapioka).

Ia mengaku cukup beruntung karena keluarganya masih bisa bertahan dalam bisnis mereka di penjualan pakaian hingga beralih ke bahan pangan seperti gaplek dan gaber. Kedua usaha ini juga berhasil sehingga mampu berbagi dengan warga lainnya yang kurang beruntung.

KRISIS BERAS JAMAN SUKARNO 

Tonny Saritua Purba Kader Partai Golkar, Ketua Bidang Tani dan Nelayan Depinas SOKSI sekaligus Pengamat Politik Pertanian dalam tulisannya yang dimuat oleh Kabar Golkar pada 23 September 2023 mengatakan bila Indonesia sejak merdeka hingga tahun 1949 tidak pernah mengimpor beras.

Namun, produksi beras kian menurun hingga di tahun 1960 Indonesia mencatatkan diri sebagai bagian dari penikmat beras impor dengan nilai 800 ribu ton – 1 juta ton per tahunnya.

Kondisi ini semakin parah karena di tahun 1954 terjadi krisis beras yang membuat harganya tidak terkontrol dan stoknya pun tak mencukupi.

PEMIMPIN HARUS HATI-HATI DALAM MENGHADAPI POLEMIK BERAS INI

Professor Sahid Susanto kembali mengatakan bila Presiden Joko Widodo harus hati-hati dalam menyelesaikan persoalan beras karena bahan pangan ini adalah komoditas strategis.

Bila beras tidak ditemukan dan langka di masyarakat, maka akan terjadi kestidakstabilan politik.

“Ingat, Presiden Sukarno jatuh karena pada tahun 1963 di awali dengan kelangkaan beras,” ungkapnya.

Bank Dunia mengungkapkan harga beras di Indonesia 20% lebih tinggi daripada harga beras di pasar global. Bahkan saat ini harga beras dalam negeri konsisten tertinggi di kawasan ASEAN.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Carolyn Turk menilai tingginya harga beras ini terjadi karena beberapa hal, seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor dan kenaikan biaya produksi hingga pengetatan tata niaga melalui non tarif.

“Kebijakan yang mendistorsi harga ini menaikkan harga produk dan mengurangi daya saing pertanian,” ucap Carolyn seperti dilansir dari Kontan pada Senin (23/9/2024).

Meski begitu, ia menyoroti tingginya harga beras dalam negeri tak sebanding dengan pendapatan petani lokal.

Merangkum dari hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari US$ 1 atau Rp 15.199 per hari. Sementara, pendapatan petani per tahun hanya mencapai US$ 341 atau Rp 5,2 juta.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Artikel Baru