THE EDITOR – Sebagai seorang ibu tunggal dengan dua anak, saya pernah merasakan sulitnya bertahan hidup ketika saldo di rekening hanya tersisa 600 dolar Singapura (Rp7 juta) untuk dipakai dalam sebulan. Pernah suatu waktu, saya memilih untuk mengisi saldo kartu EZ-Link putri saya dengan uang 20 dolar (Rp235 ribu) ketimbang membeli kartu konsesi yang harganya sampai 100 dolar (Rp1,1 juta).
Hal ini diceritakan oleh Kaylee Kua, Direktur Utama DOT (Daughters Of Tomorrow ), dalam wawancaranya dengan Channel News Asia (CNA) pada Kamis (19/9/2024) mengatakan bila program ini memang dibuat untuk memberi kepekaan bagi masyarakat miskin di Singapura.
Dalam ceritanya ia mengatakan bila menahan lapar sampai perutnya terasa sakit saat bekerja, hanya demi menghemat 5 dolar (Rp58.000) yang sebenarnya bisa saya pakai untuk membeli camilan.
Setidaknya, inilah kenyataan yang saya dapatkan saat mengikuti lokakarya “kepekaan terhadap kemiskinan”, This Is My Experience. Kegiatan ini dibuat untuk memberikan gambaran terhadap berbagai tantangan yang dihadapi para perempuan berpenghasilan rendah.
Lokakarya yang berlangsung selama dua jam ini digelar oleh badan amal Singapura, Daughters Of Tomorrow (DOT). Badan ini merangkul perempuan berusia 18 hingga 63 tahun yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, kurang dari 1.500 dolar (Rp17,6 juta) per kapita per bulannya.
Kegiatan ini diadakan untuk berbagai kelompok pengusaha hingga relawan baru, guna memperlihatkan kepada mereka akan kenyataan yang terjadi pada masyarakat yang hidup dalam kemiskinan di Singapura.
Sewaktu saya mendapat undangan untuk menghadiri lokakarya pada bulan Juli lalu, saya kira para peserta hanya akan sekadar mendengar cerita perjuangan para perempuan berpenghasilan rendah dan membayangkan berada di posisi mereka.
Saya tak percaya bahwa hanya dalam durasi dua jam kegiatan ini bisa membuat orang-orang memiliki empati kepada mereka yang hidup dalam kemiskinan di Singapura.
Terlebih, setelah acara berakhir, para peserta dapat kembali hidup seperti biasa, mungkin dengan penghasilan mereka yang tinggi.
Namun, butuh waktu bagi saya untuk menghilangkan keraguan dan memperluas persepsi saya tentang bagaimana rasanya sulit mencari sesuap nasi sehari-hari.
HADAPI PILIHAN SULIT
Lokakarya ini dirancang dengan format “pilih petualangan Anda sendiri”, dan terdiri dari 30 pertanyaan. Setiap pertanyaan punya dua pilihan jawaban “iya” dan “tidak”, dan berkaitan dengan berbagai aspek dalam kehidupan, seperti misalnya, perlukah seseorang mengeluarkan uang lebih untuk membeli bahan makanan yang sehat atau tidak, atau mengizinkan anak kita ikut karyawisata atau tidak.
Setiap peserta diberi pilihan mengikuti gaya hidup seorang karakter ibu tunggal dengan dua anak yang memiliki penghasilan pas-pasan.
Peserta harus memutuskan apa yang harus dilakukan sang ibu di setiap momen dalam hidupnya.
Pilihan pertama biasanya akan menghabiskan lebih banyak uang, namun bukan berarti pilihan kedua akan “lebih baik”.
Semua jalan cerita yang dapat dipilih peserta berdasarkan pada kisah nyata para perempuan berpenghasilan rendah di Singapura yang telah berhasil dibantu oleh DOT, menurut Kaylee Kua, Direktur Utama DOT, dalam wawancaranya dengan CNA.
Karena itu, penting sekali bagi mereka yang berminat menjadi relawan-baik itu individu yang menawarkan jasa mengasuh anak, organisasi yang ingin menjalin hubungan dengan penerima bantuan DOT, atau jejaring kerja-untuk mengikuti lokakarya ini sebelum terjun ke lapangan.
“Ini untuk memastikan agar mereka tidak datang dengan prasangka mengapa klien tidak membuat keputusan tertentu. Hal ini memberikan mereka perspektif lain mengenai mengapa hal-hal tertentu bisa terjadi… supaya mereka tidak punya pemikiran perihal bagaimana orang yang hidup dalam kemiskinan seharusnya bersikap; supaya mereka tidak memaksakan persepsinya pada klien yang berbicara dengan mereka,” jelas Kua.
Bagi peserta lokakarya, misinya sederhana: Bertahan hidup selama sebulan dengan 600 dolar sebagai ibu tunggal dua anak.
Meskipun pilihan jawaban pertanyaan selalu ada dua, namun pilihannya tidak selalu semudah yang dipikirkan.
Tidak ada jawaban yang benar, tidak ada cara yang paling tepat dalam mempergunakan uang, dan tidak ada satu gaya hidup yang bisa diikuti oleh seluruh perempuan berpenghasilan rendah dengan berbagai latar belakang ini.
MELAMPAUI ANGKA
Peserta cepat menyadari bahwa 600 dolar nyaris tidak cukup bagi seorang ibu dengan dua anak yang berpenghasilan rendah untuk menutupi kebutuhan dasar, seperti transportasi, bahan pokok, tagihan listrik dan air, dan biaya ponsel prabayar agar tetap terhubung dalam jaringan internet.
Untuk kebutuhan dasar semacam itu saja sulit, maka jangan harap mereka sanggup mengikuti kelas keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup.
Banyak dari jalan cerita yang dapat dipilih peserta menunjukkan bahwa bagi perempuan berpenghasilan rendah, perhitungan finansial tidak hanya melulu soal angka, seperti halnya di dunia nyata. Meskipun keputusannya tidak mengurangi tabungannya, masih ada yang namanya biaya yang tidak terlihat.
Contohnya, kita mendapat kabar bahwa anak kita lolos seleksi perlombaan di sekolah luar negeri. Akankah kita sanggup membiayainya berlomba ke luar negeri, dengan harus membayar tiket pesawat dan biaya pembuatan paspor? Kebanyakan dari kita, termasuk saya, tidak akan akhirnya harus merelakan anak kita tidak ikut berlomba.
Tampaknya, keputusan itu akan tepat bagi seorang ibu tunggal yang hidup pas-pasan dengan dua orang anak. Namun, pasti ada perasaan bersalah telah mengecewakan harapan anak. Apalagi, anak tidak mudah melupakan hal-hal yang mengecewakannya, utamanya di masa-masa pertumbuhannya.
Pada kenyataannya, DOT juga mendapati bahwa tugas mengasuh cenderung dibebankan kepada perempuan ketimbang laki-laki. Sehingga, keputusan yang diambil para perempuan yang mereka bantu sering kali berdasar pada ekspetasi gender yang mengakar dan tersirat. Begitu juga dengan dampak yang harus ditanggung jika mereka tidak mengambil suatu keputusan.
Setiap kali sebuah keluarga menghadapi masalah keuangan, semua “diserahkan kepada anggota keluarga yang perempuan untuk mengurus dan merawat”, dan ekspektasi gender ini sering kali menjadi “masalah antar generasi”, jelas Kua.
“Ketika putri sulungnya mulai tumbuh dan kesehatan orang tuanya mulai menurun, apalagi jika terjadi pada masa remaja, mereka mau tidak mau harus mengambil tugas dan tanggung jawab untuk merawatnya.”