20.4 C
Indonesia

Pengadilan Uganda Mencabut Larangan Pendidikan Seks

Must read

UGANDA – Pada tahun 2016, pejabat Uganda menyerbu masuk ke aula Green Hill Academy, sebuah sekolah dasar yang sangat dihormati di Kampala, ibu kota Uganda.

Saat itu, mereka sedang menjalankan misi yang ganjil. Menteri etika dan integritas memerintahkan mereka untuk mengambil salinan “Love Lessons” karya Jacqueline Wilson, sebuah buku yang menceritakan seorang gadis berusia 14 tahun bernama Prudence yang jatuh cinta dengan guru seninya.

Orang-orang Uganda yang konservatif marah, resah akan buku-buku yang “erotis” dan “terdistorsi” sedang mencuci otak anak-anak mereka. Dalam beberapa bulan, semua bentuk pendidikan seks dilarang.

Baca Juga:

November lalu sebuah pengadilan mencabut larangan parlemen dan memberikan pekerjaan rumah kepada kementerian pendidikan—untuk menulis kebijakan baru dalam mengajarkan anak-anak tentang seks.

Urusan dari pengadilan itu tidak berjalan tanpa kejutan. Ismail Mulindwa, seorang pejabat senior di kementerian, berpendapat bahwa mengajarkan (pendidikan) seks kepada kaum muda dapat menyebabkan mereka melakukan masturbasi atau menjadi homoseksual. (Mungkin dia berpikir ini adalah hal yang buruk.)

Selain itu, pandangan konservatif tentang pendidikan seks juga telah dimulai dari atas. Presiden Yoweri Museveni dan istrinya Janet, menteri pendidikan, telah lama mempromosikan pembujangan, status jomblo, sebagai cara terbaik untuk mencegah penyakit menular seksual.

Keduanya menentang kondom, dengan alasan alat itu mendukung pergaulan bebas. Sang ibu negara juga tampaknya berpikir bahwa pil kontrasepsi tidak hanya gagal mencegah kehamilan tetapi juga mengikis moral.

Obat itu, menurutnya, dapat mengubah orang Uganda menjadi orang yang gila seks yang “berhubungan seks, minum pil, hamil, dan menggugurkan”.

Ketidaktahuan itu berisiko. Meskipun kematian akibat AIDS, penyakit yang disebabkan oleh virus HIV, telah menurun tajam, sebagian karena banyak orang yang mengidapnya sekarang sedang dirawat, virus tersebut masih menjadi penyebab kematian yang besar di Uganda.

Tidak sampai separuh anak muda Uganda tahu cara menghindari tertular HIV saat berhubungan seks.

Tampaknya juga hanya sedikit yang tahu banyak tentang kontrasepsi. Sekitar seperempat gadis remaja sedang hamil atau sudah memiliki anak.

Sekitar 15% dari mereka menikah pada usia 15 tahun; sekitar setengahnya telah memiliki ikatan serius pada usia 18 tahun.

Angka-angka yang mengkhawatirkan ini diperparah oleh respons pemerintah yang keliru terhadap Covid-19.

Mereka menutup sekolah pada awal pandemi hampir dua tahun lalu dan baru membukanya kembali bulan ini.

Pada Juni tahun lalu, tingkat kehamilan remaja melonjak 17% dari Maret 2020.

Pejabat yang merancang kebijakan baru mungkin dapat belajar dari kesalahan masa lalu.

Kerangka kerja sebelumnya, pada tahun 2018, menyarankan pencabutan larangan pendidikan seks.

Kebijakan saat itu hanya menyarankan untuk mengajari anak-anak bahwa cara terbaik untuk tidak tertular HIV adalah dengan tidak melakukan hubungan seks, hampir tidak pernah menyebutkan kontrasepsi, tidak ada yang boleh melakukan masturbasi, dan satu-satunya referensi untuk seks gay adalah nama undang-undang yang melarangnya.

Kerangka kerja tersebut menyebut Tuhan sebanyak 62 kali, dan menjadikan “takut akan Tuhan” sebagai prinsip panduan utamanya. Akan tetapi, beberapa orang yang taat agama masih belum puas.

Beberapa Muslim merasa kebijakan itu terlalu Kristen; beberapa orang Kristen berpikir itu tidak cukup konservatif.

Pendeta Stanley Ntagali, uskup agung Gereja Anglikan Uganda, mengecam kerangka kerja itu sebagai bagian dari “agenda seksual pro-promiskuitas, pro-gay, pro-aborsi”.

Koalisi pemuka agama pada akhirnya hanya menyepakati satu hal: menolak kebijakan itu sama sekali.

Mungkin akan lebih baik jika pembuat kebijakan baru untuk mempertimbangkan apa yang berhasil di tempat lain.

Penelitian UNESCO menunjukkan bahwa pembelajaran tentang kondom untuk kaum muda jauh lebih efektif dalam mencegah kehamilan, HIV, dan penyakit menular seksual lainnya daripada hanya mengajarkan mereka untuk tidak melakukan ini dan itu.

Kerangka kerja yang lebih baik juga harus dapat membantu kaum muda menghindari hubungan eksploitatif atau kekerasan, kata Rose Wakikona dari Pusat Kesehatan, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, sebuah organisasi nirlaba Uganda.

Mereka jugalah pihak yang membawa kasus yang membatalkan larangan tersebut. Dia menggambarkan kasus terpisah dari korban pemerkosaan berusia sembilan tahun, yang bersaksi bahwa seorang pria “menidurinya” karena dia tidak dapat menggambarkan tindakan itu.

Pendidikan adalah permulaan, tetapi itu hanya satu bagian dari keseluruhan puzzle. Sekitar 28% wanita Uganda yang sudah menikah yang ingin menggunakan alat kontrasepsi kesulitan mendapatkannya.

Fenomena ini membuat “kebutuhan yang tidak terpenuhi” di Uganda untuk kontrasepsi lebih tinggi daripada rata-rata untuk Afrika sub-Sahara, dengan sekitar 25% dari kelompok yang sama masih belum mendapatkannya.

Bukan hanya kementerian pendidikan yang memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Sumber: The Economist

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru