21.6 C
Indonesia

Mengapa Banyak Orang Korea Selatan dan Jepang Berpindah Agama?

Must read

KOREA SELATAN – “Joon” dibesarkan di keluarga Kristen di Korea Selatan. Namun seperti banyak orang di negara asalnya, keyakinannya sekarang sangat berbeda dengan yang ia anut sedari masih kecil.

Dia sekarang mengidentifikasi dirinya sebagai agnostik.

“Saya tidak tahu apa yang ada di luar sana. Tuhan mungkin ada, atau mungkin juga bukan Tuhan – sesuatu yang supranatural,” katanya melalui telepon dari Seoul kepada BBC.

Baca Juga:

Orang tua Joon masih merupakan penganut Kristen yang taat. Joon mengatakan bahwa kedua orang tuanya akan merasakan kesedihan yang mendalam jika mengetahui bahwa dirinya tidak lagi menjadi penganut agama kristen.

Ia tidak ingin mengecewakan orangtuanya, jadi ia meminta untuk menggunakan nama samaran.

Pengalaman Joon mencerminkan temuan dari sebuah studi terbaru dari lembaga penelitian Amerika Serikat, Pew Research Center.

Asia Tingkat Perpindahan Agamanya Tertinggi di Dunia

Lembaga ini menunjukkan bahwa negara-negara di Asia Timur memiliki warga dengan tingkat tertinggi di dunia yang keluar dan berpindah agama.

Penelitian mereka merilis bila lebih dari 10.000 orang ditanyai tentang keyakinan mereka, dan banyak yang mengatakan bahwa mereka sekarang memiliki identitas agama yang berbeda dengan agama yang mereka anut saat dibesarkan.

Hong Kong dan Korea Selatan menduduki peringkat teratas, dengan 53% responden di masing-masing negara mengatakan bahwa mereka telah mengubah agama mereka, termasuk benar-benar meninggalkan agama.

Di Taiwan, penelitian teraebut menemukan fakta bahwa 42% orang telah berpindah agama dan di Jepang sebanyak 32%.

Bandingkan dengan survei tahun 2017 di Eropa. Dimana di benua ini, tidak satu pun negara yang punya tingkat perpindahan agama melebihi 40%.

Adapun di Amerika Serikat, data tahun lalu menunjukkan hanya 28% orang dewasa yang mengaku tidak lagi mengidentifikasi diri mereka dengan agama yang mereka anut sewaktu kanak-kanak.

Bagi Joon, perubahan dalam pandangannya terjadi setelah dirinya meninggalkan rumah orang tua dan terpapar ide-ide baru.

Ia bercerita bila saat dia masih kanak-kanak, keluarganya bangun setiap pagi sekitar pukul 6 pagi dan semua orang akan membaca dan berbagi ayat-ayat Alkitab.

“Setiap pagi seperti sebuah kebaktian kecil”, katanya.

Joon meninggalkan rumah orang tua pada usia 19 tahun dan mulai pergi ke salah satu gereja terbesar di Seoul – sebuah gereja dengan ribuan jemaat.

Gereja tersebut memiliki penafsiran Alkitab yang sangat literal, misalnya menolak teori evolusi.

Hal ini tidak sesuai dengan teori ilmiah yang telah dipelajari Joon. Pandangan dunianya pun berubah dengan cara berbeda.

“Saya pikir agama Kristen memiliki pengertian yang sangat jelas tentang hitam dan putih, benar atau salah. Namun setelah mengamati masyarakat, dan bertemu dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda, saya mulai berpikir bahwa dunia ini terdiri dari banyak zona abu-abu,” ungkapnya.

Joon mengatakan bahwa separuh dari teman-temannya tidak lagi percaya dengan keyakinan yang mereka anut saat kanak-kanak, terutama mereka yang dibesarkan sebagai orang Kristen.

Dan bukan hanya agama Kristen yang kehilangan penganut. 20% orang yang dibesarkan sebagai penganut agama Buddha kini telah meninggalkan agama tersebut. Di Hong Kong dan Jepang, jumlahnya mencapai 17%.

Hal lain yang ia temukan di lapangan adalah sebagian orang di Korea Selatan memilih untuk memeluk agama baru.

Misalnya pertambahan orang Korea Selatan  yang memilih pindah ke agama Kristen sebanyak 12%, sedangkan agama Buddha mengalami peningkatan pengikut sebesar 5%.

Di Hong Kong, agama Kristen dan Buddha masing-masing mengalami kenaikan penganut sebesar 9% dan 4%.

Namun, kelompok terbesar di antara mereka yang mengubah identitas agama adalah orang-orang yang tidak memeluk agama apa pun.

Jumlahnya di negara-negara Asia Timur lebih tinggi daripada di belahan dunia lainnya.

Sebanyak 37% orang di Hong Kong dan 35% orang di Korea Selatan mengatakan bahwa ini merupakan proses pencarian mereka, dibandingkan dengan 30% di Norwegia atau 20% di Amerika Serikat.

Bagaimanapun, penelitian ini mengatakan bila terlepas dari apa yang tampak seperti peningkatan sekularisasi, sejumlah besar orang di seluruh wilayah ini mengatakan bahwa mereka masih mengambil bagian dalam ritual dan praktik spiritual.

Di semua negara yang disurvei, lebih dari separuh orang yang tidak memeluk agama, mengatakan telah mengambil bagian dalam ritual untuk menghormati nenek moyang mereka dalam 12 bulan terakhir.

Dan sebagian besar orang yang disurvei di seluruh wilayah mengatakan bahwa mereka percaya pada Tuhan/Dewa-dewa atau makhluk gaib.

Semua ini tidak mengejutkan bagi Dr Se-Woong Koo yang merupakan seorang ahli studi agama.

Saat dihubungi oleh BBC, Dr Se-Woong Koo yang berada di Seoul mengatakan bahwa kemampuan untuk mengambil bagian dari agama-agama yang berbeda selaras dengan sejarah wilayah tersebut.

“Secara historis, di Asia Timur tidak terlalu fokus pada apa yang bisa disebut sebagai identitas agama yang eksklusif. Jika Anda seorang penganut Tao, bukan berarti Anda tidak bisa menjadi penganut Buddha pada saat yang sama, atau penganut Konghucu. Batas-batas ini jauh lebih tidak jelas sebagaimana di Barat,” ungkapnya.

Barulah pada abad ke-19, lanjutnya, setelah terjadi peningkatan interaksi dengan orang-orang Barat, konsep agama seperti yang kita pahami saat ini dibawa ke Asia Timur.

“Namun, kemampuan untuk memiliki berbagai identitas dan tradisi adalah sesuatu yang tidak pernah benar-benar hilang di wilayah ini,” kata Dr Koo.

Dr Koo juga melihat hal tersebut di rumahnya sendiri. Dimana ibunya telah berpindah agama dalam beberapa kesempatan.

“Akhir pekan lalu dia mendaftar sebagai anggota Gereja Katolik di daerah kami. Dan saya yakin dia akan pergi ke sana pada hari Minggu,” kata Dr Koo.

Tapi kemudian, ibunya mengatakan kepadanya bahwa dia sebenarnya pergi ke sesi penyembuhan doa di sebuah gereja Injili setempat.

Saat Dr Koo bertanya tentang ikatan yang dibangun ibunya dengan Gereja Katolik, jawaban yang ia dapatkan ternyata berbeda.

Ibunya ternyata mengatakan bila ia membutuhkan kesembuhan. Dan ia pergi ke gereja katolik karena ia dulunya adalah seorang katolik.

“Tetapi entah bagaimana, ketika harus menerima jenis intervensi fisik tertentu yang dia yakini dibutuhkan, dia pergi ke tradisi lain,” tandasnya.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru