JAKARTA – Untuk mendapat pekerjaan, para pencari kerja (jobseeker) biasanya diwajibkan untuk memiliki latar belakang pendidikan tertentu–kebanyakan bahkan harus berstatus lulus dari institusi pendidikan.
Akan tetapi, status lulus itu sendiri nyatanya tidak lantas menjamin mereka untuk segera memiliki tempat di dunia kerja.
Sederet persyaratan di luar pendidikan juga harus dipenuhi terlebih dahulu, mulai dari domisili, kemampuan berkendara, hingga penampilan fisik.
Dan, sekali lagi, meskipun semua persyaratan itu dirasa sudah dipenuhi, tidak ada yang bisa menjamin pekerjaan impian akan segera ada di genggaman tangan.
Hal itu pun membuat para jobseeker harus terus-menerus mengirim lamaran ke tempat-tempat lain yang mungkin akan menerima mereka; juga meng-upgrade kemampuan diri dengan lebih banyak pengetahuan.
Tim The Editor berkesempatan berbincang dengan empat pekerja dengan latar belakang pendidikan berbeda-beda tentang pengalaman mereka kala mencari kerja.
Ada yang langsung mendapatkan pekerjaan pertama setelah lulus, ada yang harus menunggu beberapa bulan, ada juga yang harus menunggu hingga dua tahun.
Dari perbincangan tersebut, kelimanya sepakat bahwa setiap orang memiliki masanya sendiri untuk bertemu dengan pekerjaan pertamanya.
Dan selagi menunggu ‘masa’ itu datang, jobseeker bisa memperkaya diri sendiri dengan berbagai keahlian tambahan.
“Upgrade diri sebanyak banyaknya. Gak ada kata terlambat untuk cari ilmu,” kata Putri Miranti (22), yang diwisuda pada pertengahan tahun 2022 dan langsung mendapatkan pekerjaan setelahnya.
“Ilmu nggak terbatas. Manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk cari pengetahuan, kurang-kurangi malas, dan yang pasti percaya diri dengan kemampuan sendiri,” sambungnya, diakhiri dengan seruan menyemangati.
Sebagai lulusan jenjang S1 yang sekarang bekerja sebagai guru, Putri mengaku bahwa pekerjaannya saat ini bukan lah pekerjaan impiannya dahulu.
Ia sempat bermimpi untuk dapat bekerja di bidang manajemen atau marketing, namun mimpi itu tak kunjung terwujud meskipun dirinya telah mengirim banyak lamaran.
Hingga akhirnya ia merasa nyaman dengan menjadi seorang guru dan kini justru berfokus untuk mengembangkan kemampuannya sebagai seorang pengajar.
“Mungkin knowledge di bagian manajemen akan aku pakai untuk kelak membuka tempat les sendiri, di mana aku akan both mengerjakan pekerjaan mengajar dan me-manage tempat lesku,” katanya.
Hal serupa dialami Afina Aninnas (23). Lulus dari sekolah menengah kejuruan pada tahun 2018, ia mulai bekerja sebagai guru tiga bulan setelah kelulusan.
Selama tiga bulan mencari kerja, ia merasa kesulitan karena kebanyakan lowongan kerja saat ini mengutamakan jobseeker yang sudah berpengalaman.
“Padahal banyak sekali para pencari kerja yang belum pernah bekerja sama sekali, dan biasanya mereka pun hanya lolos di tahap wawancara,” katanya.
Kesulitan lain yang dihadapinya adalah fakta bahwa dirinya tidak memiliki koneksi ‘orang dalam’ di tempat kerja yang dituju.
Menurutnya, kondisi tersebut membuat kesempatannya untuk diterima bekerja semakin kecil jika bersaing dengan mereka yang memiliki ‘orang dalam’.
Afina kini tidak lagi memusingkan hal tersebut. Pekerjaannya sebagai guru telah membuatnya nyaman dengan dunia pendidikan sehingga ia tidak berniat mengejar impiannya dahulu.
Di sisi lain, isu ‘orang dalam’ nyatanya tidak hanya mengganggu dirinya. Muhammad Rizky (26) juga melihat isu ini sebagai rintangan yang menghadang setiap proses yang dilaluinya untuk mendapatkan pekerjaan.
Lulus pada Agustus 2019, Muhammad baru mendapatkan pekerjaan pertamanya 11 bulan kemudian–setelah ia memperbanyak pengalaman dan ilmu agar lebih cocok dengan syarat-syarat yang dibutuhkan.
“Sangat sulit [mencari kerja] dan banyak calon karyawan yang kenal orang dalam,” katanya.
Atas pengalaman tersebut, ia berpesan kepada para jobseeker untuk tetap bersemangat dan memperbanyak kompetensi diri.
Selanjutnya, narasumber terakhir yang dihubungi The Editor, Tika (24). Ia bercerita bahwa dirinya baru mendapatkan pekerjaan dua tahun setelah lulus pada tahun 2021.
Selama dua tahun itu, ia bukannya pasrah atau bahkan menyerah dengan keadaan. Ia sudah mengikuti bootcamp, kelas-kelas online, hingga terus memperbaiki CV dan meng-upgrade portofolio.
Meskipun begitu, ia mengaku kesulitan untuk lolos seleksi administrasi. Dan ketika lolos di proses melamar pekerjaan yang lain, ia gagal di tahapan selanjutnya.
“Biasanya susah lolos administrasi, sih. Sekalinya lolos biasanya gagal di interview,” katanya.
“Pernah juga udah ikut serangkaian tes banyak banget, udah interview juga, eh abis itu di-ghosting sama HR-nya,” tambahnya.
Ia kini bekerja di bidang “tulis-menulis”. Meskipun bukan pekerjaan yang sangat diinginkannya, ia tetap bersedia menjalaninya karena berhubungan dengan dunia “tulis-menulis” itu sendiri.
“Semua orang punya waktu yang beda. Pasti ada waktunya dapet kerjaan kok selama kalian terus usaha. Semangat terus aja intinya!”