23.6 C
Indonesia

KBRI Beijing Imbau Perempuan WNI Waspada Penipuan Bermodus Pengantin Pesanan

Must read

JAKARTA – Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing mengimbau warga negara Indonesia (WNI) untuk mewaspadai kasus penipuan dengan modus pengantin pesanan (mail order bride) seperti yang ditemukan di China.

Singkatnya, kasus ini mencakup pernikahan WNI, umumnya perempuan, dengan warga China yang didahului dengan imbalan mas kawin bernilai besar serta status ekonomi dan sosial calon pasangannya di China yang ternyata hanya tipuan.

“Para pelaku menjanjikan perempuan WNI untuk menikah dengan warga China dengan sejumlah uang mas kawin berkisar Rp20 juta,” kata Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Beijing Widya Airlangga di Beijing dilansir Antara.

Baca Juga:

“Perempuan WNI juga dijanjikan calon suaminya berstatus ekonomi dan sosial yang bagus dan tinggal di rumah besar.

“Namun faktanya, secara umum, pria warga China yang menikah dengan WNI bekerja sebagai petani, buruh kasar, bahkan tidak bekerja sama sekali dan tinggal di daerah perkebunan atau pegunungan yang jauh dari kota besar,” sambungnya.

Kemunculan modus tersebut, menurut Airlangga, dilatarbelakangi oleh kesulitan yang dihadapi para pria di China untuk mendapatkan pasangan dari negara yang sama.

Fenomena ini sendiri dinilai sebagai dampak dari kebijakan satu anak yang diterapkan pemerintah China pada dekade lalu.

Selain itu, secara budaya, pria China yang ingin menikah dengan perempuan dari negaranya sendiri diharuskan membayar biaya yang lebih mahal.

“Terdapat campur tangan sindikat agen perjodohan di China yang bekerja sama dengan sindikat di Indonesia untuk mencari calon korban di sejumlah kota di Indonesia,” ujar Airlangga.

Umumnya, calon korban berasal dari kalangan berpendidikan menengah-rendah yang mudah diiming-imingi uang mas kawin dan kesejahteraan keluarga di Tanah Air.

Korban sebagian besar berasal dari Provinsi Kalimantan Barat (Singkawang, Mempawah, Sambas, dan kota-kota lain di Kalimantan Barat)

Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, modus ini telah berhasil mendapatkan korban dari provinsi lain antara lain Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

“Perempuan WNI dijanjikan akan dapat mengirimkan uang kepada keluarganya secara rutin dan bila tidak betah dapat kembali ke Indonesia dengan mudah,” ujar Airlangga.

Faktanya, terjadi kasus penahanan paspor perempuan WNI oleh suaminya yang merupakan warga China karena dikhawatirkan akan kabur.

Para suami, sebut Airlangga, beralasan telah mengeluarkan uang yang cukup besar agar dapat menikah dengan WNI dan khawatir istrinya akan melarikan diri dan pulang ke Indonesia jika memegang paspornya.

Sebelum menikah dengan perempuan WNI, pihak mempelai pria China kerap membayar uang dalam jumlah yang jauh lebih besar dari uang mas kawin kepada agen perjodohan untuk dicarikan istri dari Indonesia.

“Masalahnya, praktik perjodohan dengan menggunakan agen perjodohan merupakan praktik yang lazim di China, sehingga menyulitkan pihak KBRI untuk mengejar unsur pidana bila terjadi dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO),” kata Airlangga.

Ia menyebut modus penipuan dalam kasus pengantin pesanan dengan tujuan eksploitasi dapat mengarah pada TPPO, meski penentuan kasus pengantin pesanan sebagai TPPO perlu dilihat unsur-unsur pidananya sesuai dengan Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.

“Persoalan lain adalah sering perempuan WNI dan pria China tidak bisa berkomunikasi karena beda bahasa, beda budaya, beda kebiasaan, dan karena kondisi itulah maka rentan terjadi cekcok hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” ujar Airlangga.

Sementara itu, pihak berwenang di China, baik pemerintah pusat dan daerah, melihat kasus tersebut bukan sebagai kasus TPPO dan hanya merupakan perkawinan lintas negara biasa.

“Mereka juga memandang bila ada pertengkaran di rumah tangga sebagai masalah suami-istri semata karena perempuan WNI yang telah menikah secara resmi tanpa paksaan dengan pria China sesuai dengan ketentuan hukum China, jadi pertengkaran yang terjadi diarahkan untuk diselesaikan oleh suami-istri dan keluarga,” jelasnya.

Di samping itu, pihak agen perjodohan juga kerap mengawasi dan mengancam baik pihak suami dan keluarga maupun istri dan keluarganya agar tidak melaporkan adanya dugaan kekerasan dalam rumah tangga.

Hal itu dilakukan agar sindikat mereka sulit terdeteksi dan tidak terjangkau kasus pidana.

Meskipun begitu, Airlangga menegaskan bahwa KBRI Beijing tentu merespons setiap laporan pengaduan dari perempuan WNI atau keluarga perempuan WNI yang menjadi korban dugaan penipuan bermodus pengantin pesanan.

KBRI Beijing juga disebutnya melakukan pendampingan terhadap para korban sesuai dengan hukum setempat yang berlaku.

“Setiap pengaduan selalu dikoordinasikan dengan pihak berwenang setempat untuk membantu mencari solusi,” kata Airlangga.

Kasus pengantin pesanan mencapai puncaknya pada tahun 2019 saat KBRI Beijing menampung belasan korban dari Provinsi Henan di shelter KBRI Beijing.

Berdasarkan catatan KBRI Beijing, pada periode 2020–2022 tren pelaporan kasus menunjukkan penurunan berkaitan dengan penutupan perbatasan akibat pandemi Covid-19.

Akan tetapi, sepanjang tahun 2023, KBRI Beijing mencatatkan 95 WNI yang mendaftarkan pernikahannya dengan warga negara China.

Mereka juga mengeluarkan sebanyak 119 Surat Keterangan Belum Menikah (SKBM) sebagai syarat pernikahan lintas negara.

Sementara pada periode 1 Januari–29 April 2024, KBRI Beijing telah mencatatkan 43 pernikahan WNI dengan warga negara China dan 41 SKBM.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru