20.5 C
Indonesia

Kakek 65 Tahun Divonis 1 Tahun dan Denda 1 Miliar Setelah Kalah Melawan PT Toba Pulp Lestari di Pengadilan

Must read

SIMALUNGUN – Sorbatua Silalahi didakwa atas tuduhan pengerusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun yang izin konsesinya dipegang PT Toba Pulp Lestari.

Dalam pertimbangan hukumnya, Ketua Majelis Hakim Dessy Ginting, mengatakan bahwa klaim tanah ulayat sebagaimana yang dijelaskan terdakwa ternyata tidak terbukti berdasarkan keterangan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sementara untuk mendudukkan perkara ini, hakim menilai harus ada legal formal sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Baca Juga:

“Menimbang bahwa status tanah ulayat yang dimohonkan masih sebatas usulan,” uar Hakim Dessy seperti dilansir dari Tribunnews.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sorbatua Siallagan dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama enam bulan,” jelas hakim.

Sebelumnya masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, menuntut pembebasan tetua mereka, Sorbatua Siallagan, yang ditangkap polisi pada 22 Maret 2024.

Karena saat ini kakek berusia 65 tahun itu mendekam di sel tahanan Polda Sumatra Utara.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menduga penangkapan Sorbatua adalah bentuk “kriminalisasi” di tengah perjuangan masyarakat atas tanah adat mereka.

“Cara-cara ini selalu dipakai oleh perusahaan menggunakan institusi kepolisian untuk menghalau, agar masyarakat adat berhenti berjuang untuk tanahnya,” kata Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak.

Sorbatua hanyalah satu dari puluhan orang dari berbagai komunitas adat di sekitar Danau Toba yang pernah diperiksa sebagai saksi, ditetapkan sebagai tersangka, hingga divonis penjara imbas konflik lahan di wilayah sekitar operasional PT TPL.

Dalam menangani kasus-kasus ini, Hengky menuding penegak hukum tidak mempertimbangkan perspektif masyarakat adat. Hal ini diperburuk dengan nihilnya pengakuan pemerintah atas hak tanah masyarakat adat.

Masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan sendiri disebut telah beratus-ratus tahun mendiami wilayah itu. Sementara itu, PT TPL baru mendapat izin konsesi di area ini pada tahun 1983.

“Kalau cara ini tidak kami protes dan tidak kami suarakan, akan banyak masyarakat adat yang menjadi korban,” kata Hengky.

Ketika dikonfirmasi, juru bicara PT TPL, Salomo Sitohang, mengatakan bila kasus Sorbatua adalah murni tindakan kriminal murni. 

Kata Salomo, selama ini komunitas adat Ompu Umbak Siallagan tidak pernah mengajukan klaim tanah adat melalui skema perhutanan sosial kepada perusahaan.

Polisi juga mengutarakan hal senada.

“Sorbatua tidak memiliki dasar atau hak apapun dalam mengerjakan atau menduduki kawasan hutan yang merupakan areal konsesi milik PT TPL,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi.

Menurut polisi, Sorbatua dan komunitasnya menguasai lahan milik PT TPL seluas kurang lebih 162 hektare.

Namun terlepas dari kasus hukum yang menjerat kakeknya, cucu dari Sorbatua, Veronika Siallagan, mengatakan tidak akan berhenti berjuang untuk mempertahankan tanah adat mereka dari aktivitas perusahaan yang jaraknya kian dekat ke kampung.

“Dari bibir kampung jaraknya hanya 300 meter, dari gereja kami tidak sampai 300 meter. Wajar kami pertahankan, itu tanah nenek moyang kami,” kata Veronika kepada BBC News Indonesia.

Siapa Sorbatua Siallagan dan komunitas adatnya?

Sorbatua Siallagan adalah ketua dari masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan yang aktif memperjuangkan hak atas tanah dan hutan di Kampung Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.

Dia disebut aktif mengikuti berbagai pertemuan dan aksi protes menuntut penyelesaian konflik tanah antara PT TPL dan masyarakat.

Bagi Veronika, kakeknya ini adalah panutan masyarakat dalam perjuangan mereka.

“Beliau lah ketua kami, opung kami. Beliau selalu semangat, terus mengarahkan anak cucunya. Dialah guru kami, panutan kami,” kata Veronika.

Sehari-hari, Sorbatua bersama masyarakat di kampung ini mengelola hutan yang mereka yakini sebagai hutan adat dengan cara menanam sayuran dan buah-buahan.

Hasil tanam itulah yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Menurut catatan AMAN Tano Batak, mereka adalah keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan yang telah menempati wilayah ini sejak tahun 1700-an. Masyarakat yang kini mendiami wilayah ini merupakan generasi ke-11.

Selama turun-temurun, mereka disebut telah memiliki hukum adat sendiri dalam mengelola hutan lindung atau dalam bahasa mereka disebut sebagai Tombak Raja.

Hukum adat itu mencakup bahwa kayu yang ada di dalam Tombak Raja tidak boleh dijual.

Kayu dari Tombak Raja hanya boleh diambil untuk mendirikan rumah di Kampung Dolok Parmonangan. Itupun hanya boleh dua pokok kayu, dan sebagai gantinya harus ditanam kembali 20 pokok bibit kayu.

Setelah Indonesia merdeka, sebagian kawasan hutan masyarakat Ompu Umbak Siallagan berfungsi sebagai hutan lindung.

“Masyarakat merasa keberatan karena kuburan leluhur Ompu Umbak Siallagan masuk dalam kawasan hutan yang diklaim sepihak oleh pemerintah,” kata Lasron Sinuran dari AMAN ketika ditemui di Jakarta pada Kamis (28/03).

Kemudian pada 1983, pemerintah memberikan izin konsesi kepada PT Toba Pulp Lestari –yang dulunya bernama PT Inti Indorayon Utama— untuk menggarap hutan industri di sekitar wilayah ini. Secara keseluruhan, PT TPL mengelola 184.486 hektare hutan industri.

AMAN menyatakan sebanyak 500 hektare dari total 815 hektare wilayah Kampung Dolok Parmonangan masuk ke dalam wilayah konsesi perusahaan.

“Masuknya perusahaan tidak pernah mendapat persetujuan dari komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan,” jelas Lasron.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru