23.3 C
Indonesia

John Ogleeve: ‘Bedhaya Hagoromo Karya Mas Didik Bawa Penonton Nostalgia ke Masa Lalu’

Must read

THE EDITOR – Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki dipenuhi oleh ratusan penonton yang sudah tidak sabar untuk melihat penampilan Didik Nini Thowok yang akan membuka acara Indonesian Dance Festival (IDF) 2024 lewat tari “Bedhaya Hagoromo” yang dikoreografikan langsung oleh Sang Mestro.

800 kursi penonton diisi penuh oleh para pencinta seni, budayawan, kementerian dan awak media. Suasananya juga sangat berbeda karena kali ini penampilan Sang Maestro akan diramaikan oleh para penari profesional seperti Akira Matsuki dari Jepang, Richard Emmert, John Ogleeve dan Alex Dea dari Amerika Serikat.

“Ayo aku kenalkan ke guruku,” kata Didik kepada The Editor yang hadir di acara gladi resik pada Jumat (1/11/2024) di Gedung Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.

Baca Juga:

Saat itu, Didik terlihat memakai pakaian kebaya yang akan ia gunakan esok saat menarikan Bedhaya Hagoromo namun tanpa riasan wajah sedikitpun.

Sementara itu di bangku penonton terlihat langsung tiga guru dari Eyang Didik, panggilan akrab Didik yang tengah asik memperhatikan persiapan gladi resik. Ketiganya juga terlihat memakai kimono selayaknya akan tampil di panggung sehingga suasana latihan terlihat sangat menyenangkan.

Richard Emmer Profesor Pertunjukan Asia di Universitas Musashino dan instruktur tari Noh (drama musik Jepang klasik) bersertifikat di Kita School, Jepang mengatakan bahwa Didik Nini Thowok mempelajari seni pertunjukan Noh langsung di Negeri Sakura puluhan tahun yang lalu.

Richard Emmer Profesor (kanan) dan John Ogleeve (kiri) saat gladi resik tari Bedhaya Hagoromo pada Jumat, 1 November 2024 (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)
Richard Emmer Profesor (kanan) dan John Ogleeve (kiri) saat gladi resik tari Bedhaya Hagoromo pada Jumat, 1 November 2024 (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)

Ia mengingat bahwa sebagai seorang seniman yang belajar budaya Jepang, Didik menurutnya sangat cepat mempelajari seni budaya kuno ini.

“Hanya dalam waktu 4 bulan saja mempelajari tari Noh, dia (Didik) langsung mendapatkan ide untuk menggabungkan budaya Jawa (Bedhaya), Indonesia dan Jepang (Noh) saat itu. Jadilah tarian yang sekarang ini dipentaskan bernama Bedhaya Hagoromo,” ungkap Richard.

Keunikan ini, kata Richard, menjadi pengalaman yang sangat berharga karena Noh dan Bedhaya adalah satu tarian di dunia yang sangat sakral dan memiliki gerakan yang sangat lambat namun lembut.

“Tidak mudah bagi anak muda untuk menonton pertunjukan Noh dan Bedhaya, tapi bila diperhatikan dengan seksama maka akan diketahui bila tarian ini istimewa,” kata Richard lagi.

BAHAGIA KARENA TARI NOH DAN BEDHAYA DAPAT DINIKMATI OLEH SEMUA ORANG

Akira Matsuki dalam tari Bedhayan Hagoromo (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)
Akira Matsuki dalam tari Bedhayan Hagoromo (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)

Di jaman dahulu, tari Bedhaya hanya bisa disaksikan oleh masyarakat dari kalangan atas saja. Di Indonesia misalnya, tari Bedhaya baru dibuka ke publik dalam beberapa tahun belakangan saja.

Akira Matsuki, Guru dan aktor utama tari Noh klasik di Kita School, Jepang mengatakan hal serupa juga terjadi di Jepang dimana tari Noh hanya bisa disaksikan oleh keluarga-keluarga bangsawan saja.

Tari Noh, lanjut Akira, sangat berbeda dengan tarian kontemporer seperti Hip Hop. Tapi, tari Noh tetap memiliki keistimewaan sendiri karena ditarikan dengan gerakan lambat tapi penuh dengan kelembutan.

“Jadi, meski tariannya lambat tapi penonton tetap bisa menikmatinya,” ungkap Akira.

Akira yakin siapapun yang menyaksikan tari Bedhaya Hagoromo dalam ajang IDF kemarin pasti bahagia karena tarian yang disajikan tidak membuat pikiran stres. 

Katanya, pikiran jernih saat menonton Bedhaya Hagoromo muncul karena susunan tarian terdiri dari gerakan-gerakan yang murni. 

PENONTON PASTI KETAGIHAN

John Ogleeve, seniman teater yang berkecimpung dalam drama tari Noh asal Amerika Serikat juga mengatakan bila konsep tari Bedhaya Hagoromo yang dibuat oleh Didik Nini Thowok sangat istimewa karena penonton seolah dibawa kembali ke nostalgia masa lalu.

“Inilah yang disebut dengan tradisi dan penonton ingin langsung melihatnya seperti kembali ke masa lalu rasanya saat melihat tariannya,” ungkap John.

“Sama halnya dengan penari yang akan meramaikan Bedhaya Hagoromo ini, kata Richard.

Dari perspektif Richard, penampilan mereka di Jakarta di tahun 2024 ini menjadi sebuah pengalaman yang tak ternilai karena meski telah menampilkan tarian yang sama di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono X, Yogyakarta di tahun 2014 lalu, namun keintiman dan keakraban antara ia, Dididk Ninik Thowok, Akira Matsuki dan john Ogleeve di panggung justru semakin erat.

“Saya rasa ini juga menjadi bagian sebuah kebudayaan,” ungkapnya.

APA ITU BEDHAYA HAGOROMO?

Bedhaya Hagoromo juga mengikut sertakan 8 penari pria profesional lainnya (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)
Bedhaya Hagoromo juga mengikut sertakan 8 penari pria profesional lainnya (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)

Bedhaya Hagoromo adalah kombinasi dua bentuk seni klasik antara tari Bedhaya dari Jawa dan pertunjukan Noh dari Jepang. 

Rumusan karya ini terbentuk ketika Didik menemukan adanya kesamaan cerita pada tari klasik Jawa dan Jepang, yaitu legenda Jaka Tarub. 

Bersama dengan Richard Emmert dan Akira Matsui, karya ini berusaha menjahit unsur-unsur estetika pada tari Bedhaya dan tari Noh untuk menunjukkan keterhubungan sekaligus keunikan antar-budaya. 

Selain koreografi, peleburan dua tari klasik ini juga dilakukan oleh Didik melalui permainan musik gamelan tradisi bercorak Yogyakarta Solo dan tetabuhan khas Noh, kostum Bedhaya dengan topeng dan kipas Noh, dan elemen estetika lainnya. 

Dengan pengalaman dan referensi mendalam dari ketiga kolaborator, Bedhaya Hagoromo dikatakan menunjukan bagaimana budaya gender direpresentasikan dan dinegosiasikan dalam konteks pertunjukan transnasional serta mengelaborasi isu-isu budaya yang lebih luas tentang inovasi, kolaborasi, perjuangan kelas dan identitas, lokasi budaya dalam pertunjukan, serta politik representasi.

spot_img

More Articles

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru