UKRAINA – Di Kota Ivano-Frankivsk, Ukraina barat, sebuah toko roti kecil bernama Vash Lavash berdiri tak jauh dari jalan utama untuk pejalan kaki. Toko itu mudah dikenali karena dindingnya yang berwarna kuning cerah dengan display yang diisi kue-kue manis dan gurih.
Lyubomyr Kital membuka toko roti itu pada bulan Januari lalu. Kurang dari dua bulan kemudian, Rusia datang menginvasi Ukraina. Tokonya sempat tutup, namun tidak lama.
“Bisnis ini dapat dibuka kembali dan kami bisa bekerja,” kata Kital, lalu menambahkan bahwa tokonya tetap buka bahkan ketika alarm serangan udara dibunyikan.
Kital mengatakan toko rotinya mendapat kesempatan tersebut ketika pejabat Ukraina mendesak sektor bisnis untuk kembali berjalan.
Meskipun begitu, ada beberapa perubahan yang diberlakukan. Salah satunya adalah penerapan jam malam–yang berarti jam buka toko lebih pendek dan gaji lebih rendah.
Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan niat bekerja para karyawan seperti Maria Nowitzki. Ia masih bersyukur atas kesempatan ini.
Nowitzki adalah salah satu dari dua karyawan baru yang meninggalkan ketidakpastian di Kyiv.
Ia mengatakan bahwa meninggalkan ibu kota adalah keputusan yang sulit namun berlangsung amat cepat. Sedangkan pekerjaan baru tidak datang secepat itu.
“Dua minggu saya duduk tanpa pekerjaan,” katanya.
“Saya hanya duduk di flat saya dan membaca berita. Dan kemudian saya mengerti bahwa perang tidak akan berakhir terlebih dahulu dan saya memutuskan untuk mencari pekerjaan,” paparnya lebih lanjut.

(Foto: Kat Lonsdorf/NPR)
Sebelum perang berlangsung, Nowitzki adalah seorang desainer interior. Pekerjaannya di toko roti kini sangat berbeda namun membuatnya merasa lebih baik.
“[Saya] merasa bahwa saya diperlukan, bahwa saya membantu dalam perekonomian kita,” ucapnya.
Ketika bisnis di seluruh negeri tutup, banyak orang seperti Nadia Nosteryasha kehilangan pekerjaan. Oleh sebab itu, pembukaan kembali toko roti berarti kesempatan untuknya untuk membantu menafkahi anaknya yang masih kecil.
Nosteryasha menghabiskan hari kerjanya menaburkan keju di atas adonan, memasukkannya ke dalam kue kering di tengah ancaman perang.
Ia mengaku bahwa suara sirene serangan udara tidak lagi mengganggunya.
Toko roti ini mungkin membantu meningkatkan aktivitas ekonomi, tetapi juga melakukan tugas yang sangat mendasar–memberi makan pelanggan.
“Orang-orang yang datang ke sini, kita perlu memberi mereka makan,” kata Kital.
“Orang-orang yang datang dari Kharkiv, Odessa, kota-kota besar lainnya di Ukraina, mereka membutuhkan makanan,” sambungnya.
Toko roti Vash Lavash ramai dengan pelanggan yang keluar masuk, termasuk Svetlana dan Azari Kosyk serta dua anak mereka.
Mereka memilih kue dengan cokelat dan kacang, dan satu lagi dengan raspberry.
Keluarga beranggotakan empat orang itu sempat meninggalkan Ukraina dan tinggal di sebuah apartemen di Warsawa, Polandia, ketika perang dimulai. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumah sebulan kemudian.

“Sangat sulit bagi anak-anak untuk mendengar suara alarm serangan udara,” kata Svetlana.
“Sulit bagi anak-anak untuk bangun di tengah malam dan mereka hanya menutup diri dengan penutup gorden,” imbuhnya.
Sementara itu, jalanan di luar toko roti Vash Lavash dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang, bus-bus yang melintas, dan segala sesuatunya tampak normal.
Kital dengan cepat bersikeras bahwa situasi mereka sedang tidak normal.
“Hari ini di pagi hari, saya melihat gambar dari Bucha, dan saya pikir ini adalah bencana skala dunia, skala planet,” katanya.
“Dan saya pikir ini adalah ide yang salah bahwa Ivano-Frankivsk, atau kota lain mana pun, dapat menjalani kehidupan normal,” sanggahnya.
Pemikiran itu juga ada di benak Svetlana dan Azari. Mereka khawatir untuk membawa anak-anak mereka kembali ke Ukraina lalu disusul oleh anak-anak mereka yang juga menjadi cemas.
Akan tetapi mereka menikmati momen manis di toko roti Kital. Dengan kue-kue cokelat dan raspberry di tangan dan keempatnya yang masih bersama.
Sumber: NPR