Bisa, asal jelas legal standingnya, aturan pengelolaannya, transparan, tidak mengganggu “marwah” yang harus diemban kampus Perguruan Tinggi, dan memberikan kontribusi dalam pendidikan dalam bentuk manfaat akademik (Tri Dharma Perguruan Tinggi), ekonomi maupun non ekonomi.
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan akan menawarkan konsesi tambang hingga sektor pendidikan seperti kampus-kampus Pendidikan Tinggi.
Sementara ini, penawaran diberikan kepada ormas keagamaan dalam bentuk WIUPK sebagai implementasi dari amanah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, yang isinya adalah “Kekayaan laut, udara, darat, laut, dan seluruhnya dikuasai oleh negara, dan dipakai, dipergunakan semaksimal mungkin, seadil mungkin untuk kesejahteraan rakyat,”.
Sebetulnya tidaklah hal yang aneh kalau kampus Perguruan Tinggi mendapat berbagai bentuk konsesi pengelolaan dari pemerintah. Pada awalnya biasa disebut sebagai Hibah Land Grand. Hibah ini mengalami berbagai bentuk turunan.
Untuk kampus Perguruan Tinggi, manfaat yang akan didapat bisa dalam bentuk aktivitas Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat), manfaat ekonomi dan non ekonomi.
Manfaat secara ekonomi mungkin kecil dibanding dengan kebutuhan biaya operasional pendidikan tinggi secara keseluruhan.
Biasanya kontribusinya tak lebih dari 10 persen saja. Sementara manfaat non ekonominya ada dalam bentuk manfaat akademik yang jauh bisa dirasakan dunia kampus maupun non kampus.
Di kampus, misalnya, kawasan konsesi tambang dapat dijadikan sebagai tempat praktek dan riset mahasiswa dan dosen, area untuk pengembangan dan inovasi entrepreneur, area untuk seminar dan workshop serta lain sebagainya.
Sementara itu manfaat bagi masyarakat non kampus bisa dilakukan dengan berbagai bentuk aktivitas pendidikan non-degree dalam bentuk workshop, pelatihan, program CSR (Corporate Social Responsibility) dan lain sebagainya.
Tujuannya adalah meningkatkan kapabilitas dan kapasitas Masyarakat dalam menjalankan bisnis yang sejalan dengan konsesi pengelolaan yang diterima Perguruan Tinggi.
Dapat diberikan contoh di UGM telah lama menerima hibah hak usaha pengelolaan Perkebunan Teh Pagilaran di daerah Pekalongan seluas 1.311 hektar selama 25 tahun dengan surat keputusan Menteri Pertanian dan Agraria dengan No. SK II/6/Ka/64 pada tanggal 8 Februari 1964.
Pada awalnya universitas menyerahkan pengelolaannya kepada Fakultas Pertanian. Namun, sejak Oktober 2016 Pagilaran resmi dikelola oleh UGM secara penuh, bukan hanya Fakultas Pertanian saja, tetapi juga sebagai Hak Guna Usaha lahan Perhutani. Ada ribuan orang pegawai, pekerja, dan staf perkebunan yang terlibat disana.
Komoditas perkebunan Perguruan Tinggi Pagilaran terus mengalami perkembangan, meliputi teh, kakao, kopi, cengkih, dan kina.
Sebagai perkebunan milik perguruan tinggi, Pagilaran memiliki misi bisnis dan Tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian).
Banyak prestasi yang sudah di torehkan. Diantaranya berhasil memperoleh penghargaan “America Award” pada tahun 1986 dan Social Enterpreneurhip Award di tahun 2009.
Namun demikian, agar konsesi pengelolaan ini tidak menyimpang dari ”warwah” yang harus diemban Perguruan Tinggi, perlu ada aturan yang ketat.
Untuk Perguruan Tinggi yang berstatus Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-Bh) secara legal memang diperbolehkan untuk mendirikan Unit Usaha.
Sekarang ini ada sekitar 21 PTN-Bh di Indonesia. Unit Usaha ini bisa mengatur berbagai hal tentang pengelolaan konsesi yang diberikan dari pemerintah. Mulai dari status hukum, visi dan misi, aturan pengelolannya yang harus transparan sampai bentuk kontribusinya ada induk organisasi kampus Perguruan Tinggi.
Yang tak kurang penting adalah sumber daya manusia-nya (SDM) harus orang-orang profesional dan diambil dari orang yang berada di luar induk organisasi kampus perguruan tinggi.
Oleh : Professor Sahid Susanto dari Universitas Gadjah Mada