THE EDITOR – Pakta kerja sama bersejarah antara China dan Vatikan soal penunjukan uskup bersama diperkirakan akan terus dilanjutkan. Pengamat mengatakan, kedua negara telah menunjukkan sikap yang positif, walau sempat terjadi sedikit gesekan.
Dilansir oleh Channel News Asia (CNA) pada Jumat (20/9/2024), menurut para pengamat, hubungan China dan Vatikan yang kian akrab bisa membuat nasib Taiwan di ujung tanduk. Ada kekhawatiran, Vatikan akan memutus hubungan dengan Taiwan jika Takhta Suci membuka hubungan diplomatik dengan China.
Pakta penunjukan uskup bersama di China pertama kali diteken kedua negara pada 2018. Sejak saat itu, pakta itu telah diperbarui setiap dua tahun pada 2020 dan 2022. Tidak diketahui apakah ada perjanjian tambahan dalam pembaruan itu karena isinya dirahasiakan.
Pengamat berpendapat China kemungkinan akan semakin merapat ke Vatikan dengan memperbarui pakta untuk ketiga kalinya. Belum diketahui kapan pembaruan pakta dilakukan, namun Sekretaris Negara Vatikan Kardinal Pietro Parolin Juni lalu mengatakan perundingan sedang berlangsung.
Menurut para pengamat, China tidak akan memutus hubungan dengan Vatikan karena negara pimpinan Paus Fransiskus itu dianggap penting dalam membentuk peradaban di Barat.
Mantan menteri luar negeri Singapura, George Yeo, yang juga bekas anggota Dewan Ekonomi Vatikan, mengatakan membuka hubungan dengan Vatikan adalah strategi China untuk memahami dan merangkul dunia Barat dengan lebih baik.
“China tidak akan bisa memiliki hubungan yang baik dengan negara-negara Barat tanpa berhubungan baik dengan Vatikan,” kata Yeo.
VATIKAN SEMPAT DIUSIR DARI CHINA
Pemerintah China memutus hubungan diplomatik dengan Vatikan pada 1951 ketika Partai Komunis berkuasa dan mengusir seluruh pemuka agama asing.
Meski tidak lagi berhubungan dengan China, namun Vatikan masih menjalin diplomasi dengan Taiwan.
Berkat kebijakan “satu-China”, Vatikan yang berhubungan dengan Taiwan tidak bisa menjalin hubungan diplomatik lagi dengan China. Bagi China, Taiwan adalah wilayah mereka yang memberontak dan akan direbut kembali suatu saat nanti.
Selama hampir delapan dekade, Vatikan telah menjadi sekutu satu-satunya Taiwan di Eropa. Berkat lobi ketat China, negara yang berhubungan dengan Taiwan berkurang dari 22 menjadi 12 dalam delapan tahun terakhir.
Semenjak pengusiran Vatikan, umat Katolik di China terbelah dua. Satu kubu adalah umat Katolik yang mendapatkan izin dari Partai Komunis dengan uskup yang ditunjuk oleh pemerintah Beijing. Kubu lainnya adalah mereka yang tetap setia kepada Paus.
Kubu Katolik resmi China menurut catatan statistik berjumlah sekitar enam juta orang, yang berada di bawah pengelolaan Asosiasi Katolik China Patriot (CPCA), diawasi langsung oleh Partai Komunis China. CPCA tidak mengakui otoritas Paus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik dunia.
Sementara Katolik China yang pro-Paus terpaksa beribadah secara sembunyi-sembunyi di rumah salah satu jemaah dan memegang teguh doktrin Katolik.
Namun belakangan, garis pembatas antara dua kubu Katolik di China ini kian kabur setelah China mulai mengakui uskup yang ditunjuk Paus.
Pada 2019 lalu, pemerintah China secara resmi mengakui Uskup Melchior Shi Hongzhen, 95, yang sudah memimpin keuskupan di Tianjin sejak 2019. Shi disebut uskup pertama di luar CPCA yang diakui pemerintah China.
Sejak saat itu, Vatikan dan China bersama-sama menunjuk uskup. Seperti pada Juni lalu, kedua negara menunjuk Giuseppe Yang Yongqiang, anggota senior CPCA untuk jadi uskup di Hangzhou. Menurut Vatikan, penunjukan ini selaras dengan pakta yang mereka tandatangani.
Sempat terjadi beberapa gesekan pada hubungan kedua negara. Namun pada akhirnya, Vatikan selalu mencoba mengalah kepada China demi kemaslahatan umat Katolik.
Misalnya seperti pada November 2022, China secara sepihak menunjuk uskup auksilier untuk Jiangsi di keuskupan yang tidak diakui Vatikan. Pada 2023, China kembali menunjuk uskup baru di Shanghai, juga tanpa persetujuan Vatikan.
Meski tidak sesuai aturan gereja, namun Vatikan menerima langkah China itu. Dr Alejandro Reyes, peneliti senior di Centre on Contemporary China and the World di The University of Hong Kong (HKU), mengatakan ini adalah cara pragmatis Vatikan dalam berhubungan dengan China, dan keduanya tidak ada yang dirugikan.
“Kita harus realistis – meski sistem China masih otorites, namun kondisinya lebih baik di banding masa lalu. Pragmatisme Takhta Suci memahaminya seperti itu,” kata Reyes.
TAIWAN TERANCAM?
Berbagai perkembangan terakhir yang menunjukkan kian akrabnya hubungan Vatikan dan China mengarah kepada terjalinnya pertalian kedua negara secara diplomatik.
Seperti misalnya Mei lalu, Kardinal Parolin menyatakan keinginan Vatikan membangun kantor permanen di China. Paus Fransiskus juga beberapa kali mengatakan ingin melakukan kunjungan apostolik ke China daratan.
Namun meresmikan hubungan kedua negara berarti putusnya jalinan Vatikan dengan Taiwan, lantaran kebijakan satu-China.
Yeo mengatakan, kemungkinan tersebut tidak bisa dikesampingkan. Taiwan, kata Yeo, juga menyadari betul hal ini. Tapi walau nantinya Vatikan memihak China, mereka diperkirakan masih akan mempertahankan kehadiran di Taiwan.
“Taiwan tahu bahwa Gereja (Vatikan) tidak memegang kebijakan ‘dua China’. Tapi jika memang pengakuan diplomatik bergeser ke Beijing, Gereja masih akan memiliki perwakilan di Taiwan,” kata Yeo.
Reyes dari HKU juga berpendapat senada. Apalagi, Reyes mencatat, dalam lima dekade terakhir tidak ada duta besar Vatikan yang ditunjuk untuk Taiwan.
Posisi ‘nuncio’ yang berarti pembawa pesan dalam bahasa Italia – jabatan yang setara dubes – sudah kosong di Taiwan sejak 1971. Kala itu, PBB mengeluarkan resolusi yang mengakui satu China.
Namun menurut Reyes, mengikat kembali hubungan diplomatik dengan Vatikan bukanlah prioritas bagi China.
Tidak seperti ketika Beijing membuat negara-negara di Pasifik Selatan memihak mereka dengan strategi kepentingan militer, dalam hal Vatikan kepentingannya menyangkut “jutaan umat Katolik yang ada di China”.
“China dan Vatikan paham bahwa ini membutuhkan waktu. Harus ada kepercayaan yang terjalin sebelum akhirnya menuju pengakuan diplomatik.”
“Saya melihat hal itu penting bagi Beijing, tapi bukan prioritas yang harus terwujud dengan segera.”