PRANCIS – Mahsa Amini, perempuan Kurdi-Iran yang kematiannya dalam tahanan polisi memicu gelombang protes hak-hak perempuan di Iran, dianugerahi penghargaan hak asasi manusia tertinggi dari Uni Eropa.
Amini, bersama dengan gerakan Perempuan, Kehidupan, dan Kebebasan Iran yang muncul dalam kampanye protes jalanan selama berbulan-bulan setelah kematiannya, menerima Penghargaan Sakharov dari Uni Eropa untuk Kebebasan Berpikir.
Hal itu diumumkan langsung oleh Presiden Parlemen Eropa Roberta Metsola pada Kamis (19/10), memberikan penghargaan kepada mereka atas pembelaan mereka terhadap “hak asasi manusia dan kebebasan mendasar.”
Melansir Al Jazeera, saat mengumumkan penghargaan tersebut, Metsola mengatakan Amini telah memicu gerakan “bersejarah” yang dipimpin oleh perempuan di negara itu.
Ia pun berharap penghargaan tersebut akan “berfungsi sebagai penghormatan kepada perempuan, laki-laki, dan generasi muda Iran yang berani dan menentang” yang mendorong perubahan.
“Dunia telah mendengar nyanyian ‘Perempuan, Kehidupan, Kebebasan.’ Tiga kata yang menjadi seruan bagi semua orang yang memperjuangkan kesetaraan, martabat, dan kebebasan di Iran,” kata Metsola.
Sebagai bagian dari komunitas minoritas Kurdi di Iran, Amini ditangkap di Teheran tahun lalu oleh “polisi moral” karena diduga tidak mematuhi aturan jilbab di negara tersebut. Ia dilaporkan meninggal dalam tahanan polisi tiga hari kemudian.
Keluarga Amini mengatakan gadis berusia 22 tahun itu dalam keadaan sehat sebelumnya, sementara saksi mata mengatakan mereka melihatnya dipukuli saat memasuki mobil polisi.
Pihak berwenang Iran membantah bertanggung jawab atas kematian Amini dan justru mengaitkannya dengan serangan jantung.
Kepergian Amini untuk selama-lamanya kemudian memicu protes luas di seluruh Iran selama hampir tiga bulan pada tahun 2022.
Protes tersebut diwarnai dengan beberapa peserta perempuan yang menentang aturan ketat jilbab dan yang lainnya meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah.
Protes solidaritas juga menyebar ke seluruh dunia, dengan demonstrasi di Paris, Berlin, Beirut, Istanbul, dan kota-kota besar lainnya.
Menurut sejumlah kelompok hak asasi manusia, pihak berwenang Iran menindak keras gerakan protes tersebut, menewaskan 500 orang dan menahan 22.000 orang.
Akan tetapi, Teheran menolak seruan untuk membuka penyelidikan independen terhadap tindakan keras tersebut.
“Tidak ada satu pun pejabat yang diselidiki secara pidana, apalagi dituntut dan dihukum atas kejahatan yang dilakukan selama, dan setelah pemberontakan,” kata Diana Eltahawy, Wakil Direktur Regional Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, pada September 2023.
Amini bukan satu-satunya perempuan Iran yang menarik perhatian global karena pengaruhnya terhadap hak-hak perempuan.
Awal bulan ini, aktivis hak asasi manusia Iran Narges Mohammadi, yang menjalani hukuman penjara 12 tahun karena aktivismenya, memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2023.
“Komite Nobel Norwegia telah memutuskan untuk memberikan Hadiah Nobel Perdamaian 2023 kepada Narges Mohammadi atas perjuangannya melawan penindasan terhadap perempuan di Iran dan perjuangannya untuk mempromosikan hak asasi manusia dan kebebasan bagi semua orang,” kata komite tersebut dalam pengumumannya.