KABUPATEN SEMARANG – Marta Dewi, seorang ibu rumah tangga di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia, secara tidak sengaja menjadi pembela pekerja seks di negara ini.
Tinggal di Bandungan, sebuah kota pegunungan kecil yang terkenal dengan ribuan pekerja seks dari seluruh Indonesia, Dewi hidup berdampingan dengan para perempuan yang berusaha mencari nafkah.
Dewi berempati dengan keadaan mereka.
“Saya tidak pernah bekerja sebagai pekerja seks tetapi saya peduli dengan lingkungan saya dan di daerah saya banyak sekali pekerja seks,” kata Dewi kepada Al Jazeera.
“Begitu saya mengenal mereka, saya menyadari bahwa mereka melakukan pekerjaan ini karena kebutuhan dan tidak boleh diadili.”
Pada tahun 2015, Dewi mendirikan Perhimpunan Pekerja Turis (PERKAWIS), sebuah serikat pekerja untuk mendukung pekerja seks di wilayah tersebut dan mendidik mereka tentang kesehatan, masalah keuangan, dan hukum.
Nama tersebut dipilih dengan mempertimbangkan stigma yang diasosiasikan dengan pekerja seks dan terdengar cocok untuk kelompok agama di wilayah tersebut.
Dewi memutuskan untuk mendirikan PERKAWIS setelah seorang pekerja seks meninggal karena overdosis dan ditemukan di sebuah indekos dekat Bandungan dengan hanya memiliki kartu identitas palsu.
“Sangat sulit bagi kami karena kami tidak dapat menemukan keluarga mereka,” kenang Dewi.
“Ada beberapa kasus lain juga, ketika seorang pekerja seks meninggal dan kami tidak memiliki data tentang mereka. Sekarang kami mengumpulkan data para pekerja yang datang ke sini sehingga kami tahu siapa yang harus dihubungi jika ada masalah.”
Dalam melaksanakan tugasnya, PERKAWIS bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat untuk memberikan pemeriksaan kesehatan kepada para pekerja seks dan mengedukasi mereka tentang kesehatan reproduksi.
Hal itu dilakukan karena kebanyakan dari mereka belum mendapatkan pendidikan seks dasar.
Serikat pekerja itu juga membagikan kondom gratis dan memberikan akses screening HIV dan IMS lainnya kepada para pekerja.
Perlindungan untuk para pekerja seks
Meskipun pekerjaan seks tidak ilegal di Indonesia, mereka yang bekerja di industri ini sering dituntut berdasarkan undang-undang lain, seperti undang-undang anti-pornografi.
Pada tahun 2014, Kabupaten Semarang, di mana Bandungan berada, mengeluarkan undang-undang yang melarang keberadaan pekerja seks.
UU itu dicabut pada tahun berikutnya dan digantikan dengan UU baru yang memberikan beberapa hak kepada pekerja seks, termasuk perlindungan dari tuntutan hukum.
Meskipun begitu, Firhandika Ade Santury, peneliti asal Bandungan yang sudah beberapa tahun mendokumentasikan industri tersebut, mengatakan pekerja seks masih belum sepenuhnya dilindungi pemerintah.
“Masyarakat Indonesia biasanya melihat pekerja seks secara hitam-putih. Mereka melihat para pekerja seks sebagai ‘buruk’ dan tidak menganggap mereka sebagai pekerja dalam pengertian klasik,” kata Santury kepada Al Jazeera.
“Saya menemukan bahwa pekerjaan mereka adalah hasil dari situasi mereka, bukan pekerjaan pilihan pertama mereka, jadi mengapa kita menyalahkan mereka dan bukan masalah ekonomi yang menyebabkan situasi mereka?”
Menurut penelitian Sanutry, sekitar 88 persen pekerja seks di wilayah tersebut bergabung dengan industri ini karena kebutuhan ekonomi.
“Mereka menghadapi ancaman seperti pelecehan, kekerasan, dan masalah kesehatan, dan ini semua adalah masalah yang tidak ditangani,” katanya.
“Mereka membutuhkan serikat pekerja karena pekerja seks membutuhkan dukungan. Kita perlu mendukung hak-hak mereka sebagai pekerja.”
Cara lain yang dilakukan serikat Dewi dalam mendukung para pekerja seks adalah dengan membantu mereka merencanakan masa depan, sesuatu yang menurutnya penting jika mereka ingin meninggalkan pekerjaan itu suatu hari nanti.
“Kami berbicara tentang berapa banyak uang yang mereka butuhkan untuk melakukan hal lain, seperti membuka bisnis mereka sendiri, dan mereka bekerja untuk itu sebagai tujuan,” jelasnya.
“Jika mereka tidak memiliki siapa pun untuk melakukan itu, mereka dapat terjebak dalam industri ini selama bertahun-tahun.”
Leli, koordinator Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), sebuah kelompok masyarakat sipil yang mendukung pekerja seks, mengatakan ada kebutuhan mendesak bagi pekerja seks di Indonesia untuk berserikat karena mata pencaharian mereka sangat genting dengan adanya faktor-faktor di luar kendali mereka.
Leli mengatakan pandemi COVID-19 sangat berat bagi pekerja seks, yang tidak menerima tunjangan seperti gaji liburan, bonus akhir tahun, atau pensiun.
Bulan suci Ramadhan juga bisa menjadi pergulatan.
“Pada hari biasa, sulit mencari klien, apalagi saat Ramadhan,” kata Leli, yang merupakan mantan pekerja seks, kepada Al Jazeera.
“Ada lebih banyak razia selama Ramadhan tetapi pekerja seks masih harus menafkahi keluarga mereka dan, dengan liburan Idul Fitri, mereka perlu menghasilkan dan menabung lebih banyak uang untuk membayar semuanya, sementara pada saat yang sama, klien semakin sedikit.”
Leli sendiri berasal dari Langkat, sebuah kabupaten yang berjarak dua jam perjalanan dari Medan.
Seperti banyak pekerja seks lainnya, Leli meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari stigma pekerja seks.
Di Bandungan, pekerja seks biasanya datang dari Cipara dan Bandung yang dekat dengan kecamatan itu, dan terkadang Kalimantan yang jauh, untuk mencari pekerjaan.
Para aktivis mengatakan kecenderungan pekerja seks untuk menjauh dari keluarga dan teman menambah kebutuhan akan kelompok seperti PERKAWIS yang dapat memberikan dukungan.
Dewi mengatakan PERKAWIS tidak memiliki jumlah anggota yang pasti karena perputaran pekerja seks di daerah tersebut tinggi, tetapi dia biasanya memiliki sekitar 100 pekerja seks di database-nya pada waktu tertentu.
“Saya hanya melakukan sebanyak yang saya bisa, dalam kondisi yang harus saya tangani,” katanya.
“Saya hanya mencoba untuk peduli dengan orang-orang di sekitar saya.”
Sumber: Al Jazeera