THE EDITOR – Warga Indonesia mendesak University of Pennsylvania (Penn) untuk mencabut beasiswa yang diberikan kepada Erina Gudono, istri dari Kaesang Pangarep dan menantu Presiden Joko Widodo.
Dilansir dari Channel News Asia (CNA) pada Kamis (19/9/2024), desakan ini ternyata diangkat dalam laporan The Daily Pennsylvanian, media kampus University of Pennsylvania yang independen dan menyoroti kehidupan seputar mahasiswa di kampus itu.
Erina sendiri memang tengah menjalani kuliah jurusan School of Social Policy & Practice (SP2) di Penn.
Keberangkatannya menuju Amerika Serikat menaiki pesawat jet pribadi memicu protes publik karena dianggap tidak peka dengan kondisi masyarakat Indonesia yang saat itu meluncurkan aksi protes terkait RUU Pilkada di depan Gedung DPR pada 22 Agustus 2024.
Dalam laporan yang dipublikasikan pada Minggu (15/9) dengan judul “Indonesians urge Penn to revoke scholarship granted to daughter-in-law of country’s president” itu, media ini menyoroti beasiswa kepada Erina yang diumumkan oleh Erina sendiri dalam unggahan akun Instagram-nya pada 28 Juli 2024.
“Ngga nyangka Allah SWT begitu baik kasih rezeki anak dan kuliah bersamaan di satu tahun umur pernikahan. Dulu juga orang tua aku pindah ke Pennsylvania setelah menikah,” tulis Erina Gudono dalam unggahan yang meraih lebih dari 100.000 likes.
“Studi, kerja, lahirin dan besarin 4 anak disana walau belum rejeki orangtuaku kuliah di UPenn mereka selalu cerita tentang bagaimana sulitnya masuk sana, dan sekarang Alhamdulillah ternyata aku bisa kuliah di University of Pennsylvania,” lanjut Erina Gudono dalam unggahan yang fitur komentarnya sudah dimatikan itu.
Menyusul aksi protes di Gedung DPR pada 22 Agustus 2024, sejumlah warga Indonesia menyuarakan kekhawatiran mereka di media sosial—termasuk di platform X dan Instagram—mengenai beasiswa dari Penn yang diterima Erina Gudono dengan alasan bahwa latar belakangnya membuatnya dianggap tidak layak menerima beasiswa.
Baik Gudono maupun pihak SP2 belum memberikan komentar terkait hal ini.
Pengguna media sosial menandai akun Universitas Pennsylvania di kolom komentar unggahan Gudono dan dalam unggahan kritis mereka sendiri, meminta pihak universitas mempertimbangkan kembali keputusan mereka. Kritikus bahkan dilaporkan telah memulai kampanye email massal untuk menuntut pencabutan beasiswa Gudono.
Lulusan Columbia University, Patricia Kusumaningtyas, mengatakan kepada The Daily Pennsylvanian bahwa kemarahan pulik terkait beasiswa untuk Erina Gudono bersumber dari “gaya hidupnya yang sangat mewah” dan sikap bungkamnya terkait “kerusuhan politik dan protes yang terjadi di Indonesia.”
Secara khusus, Patricia menyoroti ketidakpuasannya terhadap bungkamnya Erina Gudono terkait aksi protes penolakan rakyat terhadap hasil rapat Panitia Kerja Badan Legislasi (Panja Baleg) DPR RI pada Rabu (21/8) yang dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sehari sebelumnya, Selasa (20/8).
Rapat Panja Baleg DPR mempercepat pembahasan revisi UU Pilkada setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan mengenai penghitungan batas usia pencalonan kepala daerah serta ambang batas kursi DPRD bagi partai politik agar dapat mengajukan calon kepala daerah.
Mengabaikan keputusan MK, rapat Panja Baleg DPR merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) terkait RUU Pilkada. Hal ini dinilai dapat memuluskan langkah suami Erina Gudono, Kaesang Pangarep, untuk ikut berlaga di Pilkada Jawa Tengah.
Hingga akhirnya KPU dan DPR sepakat untuk menghormati keputusan MK tersebut dan menutup jalan bagi Kaesang Pangarep untuk berkontestasi dalam Pilkada tahun ini.
“Banyak teman saya yang ikut protes dan kemudian terkena gas air mata,” kata Patricia.
“Tidak adil bahwa begitu banyak penindasan yang dipertahankan oleh pemerintahan Jokowi, sementara Erina seolah-olah tidak peduli,” tuturnya.
Dia menambahkan bahwa publik Indonesia menilai Gudono boleh saja melanjutkan pendidikannya.
Namun, dia mendorong University of Pennsylvania untuk “mempertimbangkan calon penerima beasiswa di masa depan yang memiliki peran dalam mengganggu isu-isu hak asasi manusia [dan] demokrasi di negara asal mereka” ketika memutuskan memberikan beasiswa kepada seorang mahasiswa.