ARGENTINA – Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan Sekolah Mekanik Angkatan Laut Argentina (ESMA) sebagai salah satu situs Warisan Dunia PBB.
Sekolah militer yang berlokasi di ibu kota Buenos Aires tersebut diubah menjadi pusat penahanan rahasia pada era penggulingan Presiden Isabel Perón oleh kelompok militer pada tahun 1976.
Setelahnya, sekolah tersebut menjadi saksi atas sejarah yang mengerikan, dengan berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia terjadi di dalamnya.
“Sekolah Mekanik Angkatan Laut menyampaikan aspek terburuk dari terorisme yang disponsori negara,” kata Presiden Alberto Fernández kepada UNESCO melalui pesan video pada Selasa (19/9), dikutip dari Al Jazeera.
Ia mengucapkan terima kasih kepada UNESCO yang telah menetapkan ESMA sebagai situs warisan budaya.
“Kenangan harus tetap hidup,” kata Fernández, merujuk pada “kengerian” yang dialami di bekas sekolah tersebut.
Digulingkannya Presiden Isabel Perón pada tahun 1976 dengan segera memulai periode kediktatoran yang berlangsung hingga tahun 1983.
Di bawah kepemimpinan militer, terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, dengan para pemimpin militer berusaha untuk membasmi perbedaan pendapat, aktivisme, dan pandangan politik sayap kiri.
Sebanyak 30.000 orang diyakini telah kehilangan nyawa mereka, dan banyak dari mereka masih belum diketahui nasibnya.
Mereka menghilang begitu saja dalam tahanan militer dan tidak pernah terdengar kabarnya lagi.
Sebanyak 340 pusat penahanan bermunculan di seluruh negeri. ESMA, sebagai salah satu yang paling awal, menerima kedatangan tahanan pada hari-hari pertama kudeta.
Ini juga akan menjadi salah satu fasilitas terbesar di Argentina. Pusat penahanan mengubah tata ruang sekolah menjadi tempat penyiksaan. Hanya sekitar 200 tahanan yang selamat.
ESMA bahkan memiliki bangsal bersalin, tempat para tahanan yang hamil melihat anak-anak mereka diambil dari mereka segera setelah mereka lahir.
Anak-anak ini sering kali diadopsi ke dalam keluarga yang mendukung rezim diktator.
Para pemimpin militer bersusah payah menyembunyikan kejahatan yang terjadi di ESMA, baik selama maupun setelah masa kediktatoran.
Misalnya, ketika pengamat internasional tiba pada tahun 1979 untuk menyelidiki klaim hak asasi manusia.
Saat itu, pekerja di ESMA memindahkan tangga menuju ruang bawah tanah, tempat sebagian besar penyiksaan terjadi.
Mereka bahkan membangun tembok untuk menyamarkan tangga.
Beberapa dekade kemudian, pada tahun 2007, ESMA diubah menjadi situs kenangan, dibuka kembali untuk umum untuk menceritakan kisah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di lokasi tersebut.
Baru tahun ini, museum ESMA mengakuisisi sebuah pesawat yang digunakan untuk membunuh tahanan yang ditahan di lokasi tersebut, dalam praktik yang disebut “penerbangan kematian”.
Para tahanan dibius dan dilempar–seringkali dalam keadaan hidup–ke laut di tengah penerbangan sebagai bentuk eksekusi.
Penyelenggara museum berharap pesawat dan pameran serupa akan membantu generasi mendatang mengingat tragedi yang terjadi di ESMA–dan menggarisbawahi pentingnya demokrasi.