JAKARTA – Pemerintah harus mulai memilih menentukan jenis pangan apa saja yang akan dijadikan sebagai komoditi strategis nasional agar fokus membangun pertanian di Indonesia.
Bila sudah ditentukan, maka pemerintah akan lebih fokus membangun sistem pertanian di Tanah Air, dan mengembangkan produk pertanian apa yang akan dikembangkan secara besar-besaran.
“Kita pilih pangan strategis kita apa sehingga kita bisa negara kita stabil,’ ungkap Ahli Manajemen Sumberdaya Air dari Universitas Gadjah Mada Professor Sahid Susanto dalam acara talkshow berjudul Posisi strategis IKN dalam Kedaulatan Pangan beberapa waktu lalu.
Bila jenis komoditi pangan strategis sudah ditentukan, lanjutnya, maka pemerintah bebas menentukan komoditi apa yang perlu di impor dari negara lain.
Tentunya impor produk pertanian nanti disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
“Yang lainnya mau impor silahkan. Buah-buahan misalnya,” ungkapnya.
Jangan Impor Produk Yang Turunannya Banyak
Terkait impor produk pertanian, lanjutnya, dengan pengaturan produk pangan strategis tadi, Professor Sahid yakin di masa depan pemerintah tidak akan lagi mengimpor kebutuhan pokok dalam negeri.
“Negara ini harus punya pilihan untuk bisa menjadi bangsa berdaulat. Kita harus mengganti dari produksi lain. Dari devisa pertambangan untuk komoditas pangan yang lain,” ungkapnya.
Salah satu produk pertanian yang tidak boleh diimpor oleh pemerintah menurut Professor Sahid adalah beras dan kelapa sawit.
Menurutnya, beras tidak boleh diimpor karena dalam pengembangannya akan menyejahterakan petani dalam negeri.
Terkait kelapa sawit, lanjutnya, pemerintah harus benar-benar fokus mengembangkan pengolahan komoditi ini karena bisa diolah menjadi berbagai macam produk.
Sayangnya, Indonesia kembali mengimpor 567,22 ribu ton beras pada Maret 2024, atau di saat bulan Ramadan. Nilai impor beras pada bulan itu mencapai US$ 371,60 juta.
Volume impor beras itu naik sekitar 921,51% dibandingkan volume impor bulan Maret 2023 atau secara tahunan. Sedangkan dibanding Februari 2024, volume impor beras itu naik 29,29%.
“Tapi kalau komoditas tertentu seperti beras, minyak sawit tidak bisa diimpor karena kebutuhan,” ungkapnya.
Food Estate Bukan Program Baru
Kata Professor Sahid, di masa lalu pemerintah juga sempat mengembangkan program Rice Estate di Palembang.
Namun program itu gagal karena pada prakteknya komoditas pangan yang dihasilkan terlalu mahal dan pemerintah tidak sanggup memberikan subsidi.
“Dulu di palembang pada waktu penggunaan bendungan baru di palembang pernah di desain dibuat rice estate. Ditawarkan perusahaan yang mau mengatur estate. Tapi setelah dihitung besar sekali dan ternyata besar sekali karena pemerintah tidak sanggup bersubsidi,” ungkapnya.
Khusus untuk beras, lanjutnya, pemerintah sudah memberikan subsidi yang begitu besar. Baik dari infratruktur, pupuk, alat mekanisasi pertanian dan lain sebagainya.
Desain Food Estate di IKN Harus Sempurna
Bila IKN ingin menghasilkan komoditi pangan dari program food estate, Professor Sahid meminta agar pemerintah mengkaji betul program ini dengan baik.
Dengan kondisi tanah yang tidak subur serta infrastruktur air yang belum sempurna, menurutnya membangun food estate di kawasan IKN akan memakan biaya yang sangat banyak. Sehingga bahan pangan yang dihasilkan juga akan menjadi mahal.
“Sekarang saja subsidi beras petani sudah besar sekali misalnya di air, pupuk, hama penyakit, safrodi, mekanisasi. Tapi semua subsidi tidak berlangsung,” ungkapnya.
“Kalau di IKN dalam konteks beras mau di estate-kan maka harus di desain betul mulai dari berapa luasannya, airnya dari mana, dan seterusnya,” tambahnya.
Ia berharap pemerintah tidak mengorbankan masyarakat untuk ambisi politik pembangunan.
Bila memang ingin bersikeras menghasilkan bahan pangan dari food estate, ia menyarankan agar pendapatan masyarakat ditingkatkan.
“Sekarang tenaga kerjanya nggak dihitung. Sebetulnya kelompok masyarakat yang dikorbankan oleh pembangunan. Cara untuk bisa terwujud? Caranya income masyarakat harus ditingkatkan sehingga bisa membeli makanan dengan harga tinggi,” ungkapnya.