JAKARTA – Maestro dari Tanah Jawa, berdarah Cina dan mahir menarikan Tari Legong dari Pulau Dewata, Bali. Sang Guru yang hingga kini tak berhenti berkarya ternyata memiliki ikatan istimewa dengan Tari Legong yang sangat sakral dan klasik.
Siapakah dia?
Dia adalah Didik Ninik Thowok. Bernama asli Didik Hadiprayitno, SST, pria yang kemarin hadir secara khusus dalam pentas ‘Jnana Prabha Yadnya’ bersama sanggar STB (Sanggar Tari Bali) Legong Indonesia di Taman Ismail Marzuki pada Sabtu (29/6) kemarin memiliki cerita yang istimewa tentang Legong ini.
Atas atas kebaikan hati pemilik sanggar STB Legong Indonesia bernama Anak Agung Gede Ariawan atau akrab juga disapa Gung De Ariawan, Redaksi The Editor mendapat kesempatan untuk menemui Eyang Didik di ruang rias pribadinya.
Celak mata berwarna hijau, bibir merah merona dan wajah yang dihiasi make up nan cantik membuat penampilan Eyang Didik sore itu terlihat seperti ‘Boneka dari India.
“Itu yang saya sering bagikan ke generasi muda ya, kita itu kalau belajar sama guru tari, dengan tari kita sukses dan menjadi profesi, kita kan harus membalas budi guru itu. Tidak selesai kan membayar (biaya les tari) terus selesai kan. Ilmu itu tidak selesai begitu saja,” kata Didik mengawali pembicaraan dengan The Editor.
Apa Alasan Didik Berkata Demikian?
Pada tahun 1972 setelah lulus dari SMAN 1 Temanggung, Didik sempat belajar tari Bali kepala Ni Ketut Sudjani yang lulusan dari Kokar Denpasar (sekarang SMK-Sekolah menengah Kesenian).nNi Ketut Sudjani saat itu juga aktif bekerja sebagai peracat di RS Panti Waluyo Parakan Temanggung.
Didik sendiri sempat bekerja sebagai Tenaga honorer di Kabin Kebudayaan Kabupaten Temanggung sebagai guru tari.
Tahun 1974, ia pindah ke Yogyakarta dan kuliah di ASTI Yogyakarta (sekarang disebut ISI-Institut Seni Indonesia).
Untuk mengikuti ujian tingkat Sarjana Muda pada waktu itu, mahasiswa harus menampilkan satu tarian klasik dan merupakan karya baru.
Didik memilih tari Bali, dan atas recomendase Dosen Tari Bali ASTI Yogyakarta, almarhum I Gusti Ngurah Supartha, akhirnya Didik diperkenalkan dengan I Gusti Gede Raka Saba.
Didik akhirnya belajar Tari Legong Bapang Saba di Puri Saba, Blah Batu Gianyar pada tahun 1977.
Ternyata, Didik Nini Thowok muda yang saat itu baru akan lulus dari Institute Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ternyata memiliki Tari Legong sebagai tarian klasik sebagai bahan untuk ujian akhir.
Berhasil Mendapatkan Nilai Tertinggi

Didik berhasil mendapatkan nilai tertinggi di ujian akhir tari klasik di ISI Yogyakarta saat itu lewat Tari Legong Bapang Saba.
Dan, seiring waktu karir Didik meningkat sebagai seorang penari, Sang Mestro yang mahir menarikan segala macam tarian di dunia ini, ternyata ingin bersumbangsih pada Pura Saba, tempat dimana dulu ia belajar.
Salah satu yang ia lakukan adalah dengan membuat rekaman Tari Legong Bapang Saba yang menjadi ciri khas dari Puri Saba.
Mengapa? Karena Tari Legong dari Puri Saba menjadi kurikulum tetap di sekolah-sekolah tari seni setara SMK di seluruh Bali, bahkan ISI Yogyakarta sekalipun mempelajari tarian ini. Sayangnya, tak satupun rekaman video tersedia untuk mempelajari tarian ini di masa itu.
“Kan saya merasa utang budi karena pengen membalas budi baik almarhum itu. Istilahnya kan orang Bali Ngayah, penari Ngayah tidak dibayar yaitu berbuat sesuatu kepada dewa atau untuk Tuhanlah,” kata Didik.
Akhirnya, di tahun 2006, Didik bersama dua orang temannya, yaitu Nunik Anurningsih dan Ace Robin, berkolaborasi menyediakan rekaman video yang isinya Tari Legong yang diajarkan oleh Puri Saba.
Waktu itu 2006 aku punya ide bersama dengan Mbak Nunik Annur Ningsih dan Mbak Aje Rupim yang keduanya bersuamikan orang bule. Mereka bukan penari.
“Saya ngomong ke beliau kalau aku pengen berbuat sesuatu ke Puri Saba,” katanya.
“Nah, kalau penari ngayahnya ya nari di Pura. Aku ngayahnya membuat rekaman Tari Legong Gaya Saba,” ungkapnya lagi.
Sekedar informasi, Tari Legong Bapang Saba ini diajarkan di sekolah-sekolah tari di SMK maupun ISI tapi nggak ada rekaman profesional.
“Itu saya anggap sebagai ngayah saya kepada Puri Saba” ungkapnya.
Pertama Kali di Bali Ada Konser Menari Dengan Harga Tiket Rp150.000

Keinginan Didik ini ternyata disambut baik oleh banyak pihak. Mereka rata-rata ingin menjadi sponsor resmi dalam pembuatan video ini. Seperti: Studio Maharani Record, Garuda Indonesia, Sun Roof Beach Hotel dan masih banyak lagi.
Para penari yang akan menemani Didik di panggung juga berasal dari Puri Saba. Dengan seluruh persiapan yang sempurna, Didik berani menjual tiket ke turis dengan harga yang tidak main-main, yaitu Rp150.000.
“Kan itu mahal banget. Sampai itu ada yang nulis orang Bali bilang gini, “Mas kalau 150.000 mahal sekali”. “Di Bali itu tiket dijual semahal itu nggak (pernah) ada,” tambahnya.
Saya bilang, “Nggak apa-apa. Saya mau menunjukkan kualitas bahwa mengajar orang harus menghargai seni tinggi”. “Dan sold out,”. katanya sembari tersenyum bangga.
Saat itu, Didik berhasil memproduksi 4 Tari Legong khas Puri Saba. Diantaranya: Tari Legong Lasem Gaya Saba, Tari Legong Bapang Saba, Tari Legong Candra Kanta dan Tari Legong Smarandana.
Dan sejak saat itu juga, dalam tiap pentasnya tentang Tari Legong, baik itu di dalam dan luar negeri, Didik selalu membawa serta pemilik sanggar STB Legong Indonesia Gung De Ariawan untuk pentas.
Perlu diketahui, I Gusti Gede Raka Saba almarhum mempunyai beberapa putera, salah satu puteranya yang menguasai ilmu tari dan karawitan adalah I Gusti Ngurah Serama Semadi (dipanggil Gung Aji).
Anak Gung Aji adalah I Gusti Ngurah Agung Giri Putra (Gung Giri) yang menjadi sutradara dan koreografer pementasan Jnana Prabha Yadnya.
Didik sendiri mengaku selalu hadir dalam setiap acara yang diadakan oleh STB Legong Indonesia. Salah satunya dalam pentas ‘Jnana Prabha Yadnya’ di akhir Mei 2024 kemarin.
STB Legong berkolaborasi dengan Didik Nini Thowok serta seniman lain seperti I Gusti Ngurah Serama Semadi, para musisi dari Indonesian Children dan Youth Choir–Cordana, Sanggar Gita Mustika Budaya Cigantung dan komposer Wahyu Ethnica serta koreografer Agung Giri Putra.