AFGANISTAN – Kelompok pemberontak Taliban yang kini menguasai Afganistan secara resmi melarang budidaya tanaman poppy di seluruh negeri tersebut. Kandungan opium dalam tanaman ini dikenal sebagai bahan baku pembuatan narkoba jenis heroin yang selama ini menjadi penyokong ekonomi warganya.
Larangan tersebut tercantum dalam Haibatullah Akhundzada, dekrit pemimpin tertinggi Taliban, yang diumumkan dalam konferensi pers Kementerian Dalam Negeri Afganistan pada hari Minggu (3/4).
“Sesuai dekrit pemimpin tertinggi Emirat Islam Afganistan, seluruh warga Afganistan diberi tahu bahwa mulai saat ini, penanaman opium dilarang keras di seluruh negara,” demikian bunyi dekrit itu, seperti dilansir CNN.
“Jika ada yang melanggar dekrit ini, tanamannya akan dihancurkan secepatnya dan pelanggar akan dihukum sesuai dengan hukum syariah,” lanjut dekrit tersebut.
Adapun larangan ini dipercaya muncul setelah komunitas internasional mendesak Taliban untuk segera memberantas peredaran narkoba di Afganistan sejak mereka kembali berkuasa Agustus lalu.
Dalam rangka mendapatkan pengakuan internasional, kelompok itu pun mulai berusaha menghilangkan opium dengan mengeluarkan dekrit tersebut.
Detik menulis bahwa upaya ini pun sebenarnya bukan yang pertama kali dilakukan. Pada periode kekuasaan akhir tahun 1990-an lalu, Taliban juga berusaha melakukan tindakan serupa yang dapat dikatakan cukup berhasil.
PBB bahkan saat itu mengonfirmasi bahwa produksi opium telah berhasil diberantas di sebagian besar wilayah Afganistan.
Akan tetapi, ketika Taliban digulingkan pada 2001, para petani kembali menanam bunga poppy demi menghidupi diri mereka di tengah krisis yang tak berkesudahan.
Saat ini, Afganistan adalah negara penghasil opium terbesar di dunia dengan produksi lebih dari 6.000 ton opium pada tahun 2021 lalu sebelum Taliban berkuasa.
Dalam catatan Kantor Narkoba dan Kejahatan PBB, opium sebanyak itu cukup untuk memproduksi sekitar 320 ton heroin murni.
Bagi para petani tanaman poppy di Afganistan, ladang usaha ini adalah yang paling membantu mereka bertahan hidup di tengah krisis ekonomi akibat perang puluhan tahun yang mereka hadapi.
Tanaman seperti gandum dan lainnya dinilai lebih lama “menghasilkan” dibanding bisnis yang satu ini sehingga agaknya sulit bagi mereka untuk melepaskan diri dari candunya.
Oleh sebab itu, kekhawatiran akan tingkat kemiskinan yang semakin parah pun muncul.
Pihak Taliban bahkan sudah bersiap menerima penolakan dari lingkaran mereka sendiri akibat dikeluarkannya dekrit ini.
Dalam sebuah laporan yang terbit pada tahun 2021, PBB mencatat bahwa pendapatan dari opium di Afganistan menyumbang lebih dari 7% produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.