BELANDA – Tak pernah mengira bila kincir angin ternyata sebuah tempat tinggal. Tepatnya tempat tinggal dengan empat lantai yang semakin tinggi lantainya semakin menyempit.
Seperti kincir angin yang ditinggali Jan Hoek dan keluarganya. Tak hanya itu, keluarga yang tinggal di kincir angin pun keluarga besar, terdiri dari lebih dari 10 anggota keluarga.
Dari dalam kincir angin, terasa suasana yang masih autentik dengan deretan sepatu dan perkakas yang tergantung di dinding. Bagian tak biasa dari ruangan tersebut yakni alat penggerak kincir angin yang menjulang membelah anak tangga.
Langkah kaki di dalam ruang sempit ini seolah membawa saya ke kondisi pada tahun 1400-an. Dari langkah kaki pertama, saya bisa merasakan bahwa badan orang Belanda saat itu tak sebesar saat ini.
Saat ini, orang Belanda disebut sebagai negara di Eropa dengan penduduk ‘jangkung’. Tinggi badan rata-rata penduduk Belanda mencapai 180 cm hingga 190 cm.
Namun, di rumah ini, tinggi badan orang Belanda kala itu mungkin di kisaran 160 cm hingga 170 cm karena terlihat dari langit-langit yang tak terlalu tinggi. Bahkan di lantai 2 dan 3, tubuh warga Asia yang tergolong kecil masih harus sedikit menunduk agar kepala tak terantuk sekat ruangan.
Di lantai dasar, ruangan berisi kamar tidur dan ruang penyimpanan barang. Di kamar tidur, masih tertata perabot seperti kasur, meja di sebelah perapian yang berseberangan dengan jendela.
Meskipun angin di luar cukup kencang sehingga mampu menggerakkan kincir angin, ruangan tersebut menawarkan suasana hangat lengkap dengan gambaran keluarga Jan Hoek kala itu.
Perjalanan berlanjut ke lantai 2. Tangga yang dilalui cukup curam dan jarak antar anak tangga terkadang tak sama.
Kondisi ruangan yang minim cahaya membuat saya harus ekstra hati-hati saat melewatinya. Di lantai 2, terdapat ruang tidur juga pakaian di dalam lemari kaca. Kendati tampak lusuh, terlihat pakaian sehari-hari anggota keluarga Jan Hoek.
Lalu, beranjak ke lantai 3, tangga yang dilewati relatif lebih rendah dibandingkan dengan lantai sebelumnya. Namun, langit-langit di lantai 3 terasa lebih lapang dengan barang untuk mencari nafkah seperti alat bertani, pencari ikan dan berburu. Pasalnya, keluarga pemilik kincir angin tak hanya mengandalkan nafkah dari jasa menjaga air tetap kering, mereka memiliki pekerjaan sampingan.
Uniknya, untuk menuruni tangga, dianjurkan untuk berjalan mundur. Alasannya, agar proses menuruni tangga lebih cepat dan risiko tersandung lebih rendah karena pencahayaan yang terbatas membuat tangga yang curam menjadi lebih berbahaya.
Saya pun turun dengan cara mundur perlahan sambil memegang erat kayu di sisi kanan dan kiri tangga. Setelah kembali di lantai dasar, saya terbayang kondisi di 20 unit kincir angin beroperasi namun tinggal 19 yang tersisa hingga kini.
Saya masih sulit menerima bahwa keluarga yang tinggal di kincir angin ini harus tinggal di tempat yang sempit sambil mendengar bunyi dari penggerak kincir.
Namun, apa boleh buat. Kincir angin lah yang membuat Desa Kinderdijk, Belanda tetap kering. Daerahnya yang terlalu rendah membuat banjir besar pada tahun 1400-an menjadi pengalaman terpahit yang tak boleh terulang.
Berkat inovasi dan kemampuannya menjinakkan air melalui kincir angin, Kinderdijk menjadi salah satu warisan dunia oleh Badan Pendidikan dan Kebudayaan Dunia (UNESCO) sejak 1997.