FILIPINA – Suku Aeta adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Filipina, tepatnya di kaki Gunung Pinatubo, di pulau Luzon. Suku ini dipercaya sebagai salah satu suku pertama yang mendiami pulau tersebut.
Migrasi suku Aeta dikatakan terjadi sebelum migrasi orang-orang Austronesia (kelompok mayoritas Asia), sekitar 20 hingga 30 ribu tahun yang lalu. Mereka bermigrasi dari Borneo, melintasi daratan yang telah tenggelam sejak 5 ribu tahun yang lalu.
Dalam sejarah, suku Aeta dikelompokkan ke dalam kelompok yang disebut “Negrito” selama masa pendudukan Spanyol.
Beberapa sub-kelompok Aeta di bagian utara Luzon kerap disebut dengan “Pugut” atau “Pugot” oleh tetangga mereka yang berbahasa Ilocano.
Dalam bahasa tersebut, kedua kata itu kerap digunakan untuk memanggil seseorang atau sekelompok orang yang berkulit lebih gelap. Kedua kata tersebut juga memiliki arti “goblin” atau “peri hutan”.
Secara fisik, orang-orang Aeta memiliki kulit berwarna cokelat gelap, bertubuh kecil, rambut yang cenderung keriting, hidung kecil, bibir tebal, serta warna mata yang senada dengan warna rambut mereka.
Oleh karena ‘perbedaan’ tersebut, mereka sering mendapat diskriminasi namun jarang mendapat perhatian maupun bantuan dari pemerintah setempat.
Dalam kurang lebih lima puluh tahun ke belakang, wilayah orang-orang Aeta telah berkurang banyak.
Tanah-tanah leluhur mereka dirampas untuk berbagai ‘kepentingan’, salah satunya adalah penambangan ilegal yang didukung oleh polisi serta politisi yang korup.
Lebih jauh lagi, selama seratus tahun terakhir, keberadaan orang-orang Aeta semakin ditekan oleh para pendatang. Upaya relokasi suku ini oleh orang-orang Spanyol dahulu selalu berakhir dengan kegagalan. Rasa kepemilikan mereka terhadap tanah keturunan tersebut sulit dipatahkan.
Bahkan pada saat meletusnya Gunung Pinatubo tahun 1991 lalu. Orang-orang Aeta dibawa ke pusat evakuasi, namun mereka memilih untuk kembali setelah merasa aman.
Jika dipikirkan, mereka bisa saja melanjutkan hidup di sekitar pusat evakuasi tersebut. Mengingat tanah mereka telah hancur akibat erupsi, maka akan lebih mudah seharusnya menjalani hidup di lokasi yang jauh dari pusat bencana.
Akan tetapi, orang-orang Aeta merasa perlu untuk kembali dan menjaga tanah mereka. Mereka masih merasa memiliki tanggung jawab untuk menanami, menyuburkan, serta berhubungan baik dengan alam yang sudah menjaga keseluruhan keluarga sejak ribuan tahun lalu.
Secara formal, orang-orang Aeta beragama Kristen Protestan. Akan tetapi, secara praktik, mayoritas dari mereka berpegang teguh pada kepercayaan terhadap Dewa Apo Namalyari. Mereka juga menghormati roh-roh yang mendiami gunung, sungai, lautan, langit, dan tempat-tempat lainnya.
Meskipun masih sering mendapatkan tekanan dari pihak luar, suku Aeta kini lebih dapat menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan tersebut.
Sejumlah perubahan yang terjadi di luar jangkauan mereka kini juga dapat diatasi dengan sistem dan struktur budaya sendiri yang diatur sedemikian rupa agar dapat meredam masalah.