EURO – Belanda dianggap bukan salah satu unggulan teratas di Piala Euro 2024 ini dan sampai di laga terakhir fase grup, anak-anak asuh Ronald Koeman ini belum kunjung mampu meyakinkan khalayak bahwa mereka pantas merebut kembali trofi Henri Delaunay. Namun, mereka berhasil menjejakkan kaki di babak semifinal dan bakal bertarung dengan runner-up edisi 2020, Inggris.
Dirilis oleh TIRTO.ID, Westfalenstadion, Dortmund disebutkan bakal jadi saksi bisu bertemunya Inggris dan Belanda pada babak semifinal Euro 2024 pada Kamis (11/7) pukul 02:00 WIB.
Laga ini sendiri dianggap cukup sulit diprediksi karena, bisa dibilang, baik Inggris maupun Belanda sama-sama belum mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
“Dengan demikian, agak sulit menganalisis apa sebenarnya yang menjadi plus dan minus kedua kesebelasan,” tulisnya pada Rabu (10//7).
Soal kualitas pemain, Inggris dinilai seperti berada di atas kertas unggul atas Belanda. Mereka juga dianggap memiliki beberapa pemain yang layak masuk kategori kelas dunia, seperti Kyle Walker, Phil Foden, Jude Bellingham, serta Harry Kane.
Sementara itu, untuk kubu Belanda, hanya satu yang disebutkan masuk dalam kategori yang sama, yakni Virgil van Dijk.
Meski begitu, Belanda yang memiliki sosok Cody Gakpo yang saat ini masih menjadi topskorer sementara turnamen dengan torehan 3 gol tetap dianggap jadi pemain yang tidak bisa dianggap remeh.
Masalah Inggris
Kendati punya lebih banyak pemain kelas dunia, pelatih Inggris, Gareth Southgate, dinilai seperti orang yang kebingungan dalam meracik tim terbaik.
Salah satu problem utama yang dihadapi mantan bek Crystal Palace dan Middlesbrough itu salah satunya yang disebutkan artikel tersebut adalah tentang cara mengakomodasi Foden, Bellingham, serta Bukayo Saka.
Southgate juga dianggap seperti tidak tahu siapa tandem ideal bagi Declan Rice sebagai poros permainan.
Dalam empat pertandingan pertama (tiga di fase grup dan satu di 16 besar), diketahui Inggris selalu bermain dengan empat bek.
“Tiga kali mereka turun dengan pakem dasar 4-2-3-1 dan satu kali dengan formasi dasar 4-3-3. Namun, hasilnya tak banyak berubah,” tulisnya lagi.
“Ya, Inggris memang merengkuh hasil positif. Namun, hasil positif itu tidaklah didapatkan melalui permainan yang impresif. Inggris mesti bergantung pada kebrilianan individual untuk memastikan hasil akhir, bukan permainan kolektif,” ungkapnya.
Sampai pada babak 16 besar, Bellingham dan Kane menjadi penentu kesuksesan Inggris melalui gol-gol yang mereka ciptakan.
Kemudian, pada perempat final menghadapi Swiss, The Three Lions dinilai harus berterima kasih pada kiper Jordan Pickford yang tampil cemerlang pada babak adu penalti.
Karena artinya, Inggris hingga kini masih akan tetap menjadi Inggris seperti sebelum-sebelumnya, yang memiliki tim penuh bintang, tapi selalu gagal tampil memukau. Bedanya, hasil yang kini mereka raih lebih baik.
Pada laga kontra Swiss itu, Southgate akhirnya membuat perubahan. Inggris turun dengan pola dasar 3-4-2-1 di mana Saka bermain sebagai wing-back kanan dan bintang muda Manchester United, Kobbie Mainoo, dimainkan sebagai pendamping Rice di lini tengah.
Pola ini menjadikan permainan Inggris sedikit lebih hidup. Saka, khususnya, disebutkan berhasil tampil lebih lepas dibanding ketika dirinya dipasang sebagai winger murni seperti di klub.
Begitu juga dengan Mainoo yang disebut lebih cocok jadi pendamping Rice dibanding Alexander-Arnold atau Conor Gallagher.
Walau terbilang lebih mendingan, penampilan Inggris dianggap pada pertandingan melawan Swiss sebenarnya masih jauh dari kata meyakinkan.
Dengan rekam jejak seperti ini, Inggris dinilai bakal kesulitan menghadapi Belanda yang dianggap tampil kurang oke di penyisihan, sudah mulai menemukan bentuk permainan terbaik sejak fase gugur.