AUSTRALIA – Erin Wen Ai Chew, dari Asian Australian Alliance mengatakan meningkatnya ketegangan mengenai Taiwan bisa semakin meningkatkan serangan rasisme terhadap warga China di Australia yang sudah memburuk karena pandemi COVID-19 dan perang dagang antara China-Australia.
“Dalam beberapa tahun terakhir sudah banyak pernyataan anti-China yang muncul, khususnya di Australia,” katanya seperti dirilis oleh ABC, Kamis (7/10).
Erin mengatakan pembicaraan mengenai kemungkinan adanya perang akan memperburuk masalah rasisme.
Kurangnya pemahaman soal Asia membuat mereka yang berwajah Asia dikelompokkan menjadi satu kelompok di Australia.
“Hanya karena kami mungkin berwajah China, kami harus menunjukkan kesetiaan kepada Australia, bila tidak akan dianggap sebagai musuh,” katanya.
Masalah lain menurutnya adalah mereka yang dikenal sebagai “pakar masalah China” yang memberikan komentar adalah kebanyakan pria berkulit putih, berusia menengah, yang sebenarnya tidak memahami nuansa dan budaya yang ada.
“Warga di Taiwan khawatir pada akhirnya China akan mengambil alih Taiwan.”
Apa Yang Terjadi Taiwan Saat Ini?
Selama beberapa bulan terakhir sudah muncul berbagai pernyataan dari China dan Taiwan yang membuat suhu politik meningkat.
Menteri Luar Negeri Taiwan, Joseph Wu, mengatakan bila China melancarkan perang terhadap Taiwan, maka Taiwan akan mempertahankan diri sampai titik darah penghabisan.
Mereka juga meminta Australia untuk membantu dengan keamanan dan intelijen.
Di hari peringatan 100 tahun Partai Komunis China, Presiden Xi Jinping berjanji “menyatukan kembali” dan akan menghancurkan “rencana kemerdekaan Taiwan”.
Minggu ini Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen menulis di Majalah Foreign Affairs jika negaranya terus memperkuat armada militer, namun “tidak berusaha mencari konfrontasi militer”.
“Kami berharap adanya kehidupan bertetangga yang stabil, damai dan saling memberi manfaat dengan tetangganya. Namun bila demokrasi dan gaya hidupnya terancam, Taiwan akan berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan diri.”
Di Australia, pakta pertahanan baru bersama Amerika Serikat dan Inggris, termasuk pembuatan kapal selam nuklir dilihat sebagai usaha untuk menandingi semakin kuatnya pengaruh China.
Namun Dr Jade Guan, pakar masalah strategis di Deakin University di Melbourne mengatakan kemungkinan perang tidaklah perlu terlalu dibesar-besarkan, karena di masa lalu kemungkinan konflik malah lebih besar.
“Di masa Krisis Selat Taiwan ketiga antara 1995-1996, China meluncurkan sejumlah rudal ke beberapa pulau kecil di sekitar Taiwan,” katanya.
“Ketegangan yang ada sekarang antara China dan Taiwan tidaklah serius seperti sebelumnya.”
Mempertahankan Situasi Yang Ada
Lina Chen pindah dari Taipei ke Sydney hampir 50 tahun lalu dan mengatakan Taiwan, yang memiliki nama resmi Republic of China, pada dasarnya adalah negara berdaulat.
“Partai Komunis tidak pernah menguasai kami. Sekarang mereka bersikap provokatif,” katanya.
Dia mengatakan masalah geopolitis ini sudah merembet ke komunitas lokal, di mana dia mendapat desakan untuk mengisi petisi mendorong agar Australia mengakui Taiwan sebagai sebuah negara.
“Akan bagus sekali bila Taiwan bisa menjadi negara independen, seperti Singapura,” kata Chen.
“Tapi bagus juga dalam situasi seperti sekarang ini sehingga warga Taiwan dan China daratan bisa menjadi teman.”