20.9 C
Indonesia

Nasib Pegawai KPK Yang Dipecat Dengan Hormat Tapi Tanpa Pesangon

Must read

JAKARTA – Salah satu pegawai KPK yang dipecat lantaran tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK), Giri Supardiono mengungkapkan, bahwa pekerja yang dipecat pimpinan lembaga anti rasuah tidak mendapatkan pesangon. Dia lantas membandingkan pegawai KPK dengan buruh pabrik yang mendapatkan pesangon ketika dipecat.

“57 pegawai KPK yang dipecat itu tanpa pesangon dan pensiun sama sekali. Buruh pabrik pun masih dapat pesangon, tidak untuk 57!” kata Giri sebagaimana dirilis oleh Republika pada Selasa (21/9) lalu.

Giri mengatakan, dalan surat keputusan (SK) pemecatan yang diterbitkan Ketua KPK, Firli Bahuri tidak menyebutkan adanya pemberian pesangon. Dalam SK itu, pimpian KPK hanya memberikan tunjangan yang memang fasilitas tersebut merupakan tabungan hari tua para pegawai KPK yang dikelola BPJS.

Baca Juga:

“SK pemecatan ketua KPK ini berbunyi seakan mereka memberikan tunjangan, padahal itu adalah tabungan kita sendiri dalam bentuk tunjangan hari tua dan BPJS,” katanya.

Dalam sebuah unggahan foto di akun Twitter-nya, Giri memperlihatkan SK ketua KPK terkait pemecatan terhadap para pegawai. Foto tersebut memang memperlihatkan bahwa KPK hanya memberikan Tunjangan Hari Tua (THT) dan manfaat BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dia lalu menyebut kalau puluhan pegawai yang sudah berjuang memberantas korupsi saat ini malah dicampakkan seperti sampah. Padahal, sambung dia, mereka telah berjasa menyelamatkan uang negara dari para koruptor yang telah mencuri ratusan triliun.

Menurutnya, kezaliman pimpinan KPK yang tidak memberikan pesangon itu harus dilawan. Dia mengatakan, hal itu serupa dengan ketika pimpinan lembaga anti rasuah menyalurkan pegawai KPK tak lulus TWK ke BUMN yang dinilai sebagai akal bulus para pimpinan.

“Kezaliman dan pengkhianatan dalam pemberantasan korupsi tidak bisa kita diamkan. Harus kita lawan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Giri yakin jika rezeki memang sudah diatur. Dia juga meyakini para pegawai bisa tetap hidup dengan berbagai cara yang positif. Dia menegaskan bahwa cara ini lebih baik untuk mendapat penghidupan dari pada bermain kasus di KPK seperti yang dilakukan oleh bekas penyidik, Stepanus Robin Pattuju yang jadi makelar kasus.

“Tuhan telah mengaturnya secara presisi. Beternak lele, jual siomay-gorengan, membuat kue, pelihara kambing, bertani, menulis buku, mengajar, berdagang. Lebih baik bagi kami daripada menggadaikan diri, layaknya lacur diri di Tanjung Balai,” katanya.

KPK mengakui bahwa mereka memang tidak memberikan pesangon dan uang pensiun. KPK mengaku hanya akan memberikan THT sebagai pengganti manfaat pensiun. KPK juga akan memberikan manfaat atau fasilitas lain yang menjadi bagian dari benefit ke peserta program THT yang besarannya ditetapkan oleh KPK

“Pegawai KPK yang berhenti dengan hormat memang tidak mendapatkan pesangon dan uang pensiun,” kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri di Jakarta, Selasa (21/9).

Ali menjelaskan, THT merupakan dana tunai yang diberikan oleh KPK kepada penasihat dan pegawai sebagai jaminan kesejahteraan pada saat berakhirnya masa tugas (purna tugas). Dia melanjutkan, pengelolaan THT dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan serta pihak ketiga yang ditunjuk.

Ali mengatakan, pelaksanaan THT diatur secara rinci melalui Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tunjangan Hari Tua Penasihat dan Pegawai serta Keputusan Sekjen KPK Nomor 390 Tahun 2018 tentang Alokasi Iuran Tunjangan Hari Tua untuk Tim Penasihat/Pegawai KPK.

Besaran iuran THT setiap bulannya adalah 16 persen yang dihitung berdasarkan gaji. Ali menjelaskan, komponen pembayaran THT itu terdiri dari 13 persen berasal dari APBN dan tiga persen dari kontribusi pegawai yang iurannya dikumpulkan sejak seseorang diangkat menjadi pegawai.

“Pemenuhan hak keuangan ini sebagai bentuk kepatuhan terhadap perundang-undangan sekaligus penghargaan atas profesionalitas, jasa dan pengabdian insan KPK selama melaksanakan tugas pemberantasan korupsi di KPK,” katanya.

Dalam diskusi publik daring bertajuk ‘Akhir Nasib Pemberantasan Korupsi?’, Ahad (19/9) lalu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, pimpinan KPK saat ini ialah operator lapangan. Menurut dia, sejak awal persoalan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK mencuat, Firli Bahuri dkk memiliki niat mengeluarkan para pegawai KPK yang kritis terhadap pemberantasan korupsi.

“Firli Bahuri dan kawan-kawan adalah operator lapangan, mengapa? Karena setidak-tidaknya yang terbuka kepada publik niat untuk menghabisi kawan-kawan yang kritis di dalam dan setiap ada pemberantasan korupsi sudah ada pada September 2019,” ujar Asfinawati.

Dia juga menyebutkan, sikap itu juga terjadi beriringan dengan revisi Undang-Undang tentang KPK. Muncul pula pada saat itu secara terbuka mengenai taliban.

Menurut Asfinawati, hal-hal demikian menunjukkan adanya skenario besar di balik kisruh TWK KPK. Bahkan, dugaan ini sudah bermula sejak pemilihan panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK yang dinilai koalisi masyarakat sipil diwarnai permasalahan berujung pelemahan pemberantasan korupsi.

“Hasil dari pansel diterima bulat-bulat oleh Pak Presiden diserahkan kepada DPR dan tentu saja digolkan oleh DPR. Jadi ini adalah sebuah rangkaian yang sudah kita prediksi,” kata dia.

Dia melanjutkan, akibat dari skenario ini bukan saja pemecatan terhadap para pegawai KPK melalui proses TWK. Pimpinan KPK sekarang ini justru berhasil menurunkan indeks persepsi korupsi 2020 sebanyak tiga poin, menempatkan Indonesia di bawah Timor Leste sebagai negara yang baru merdeka.

Selain itu, kata Asfinawati, Pimpinan KPK saat ini pun berhasil menurunkan jumlah penyelidikan. Berdasarkan data KPK, jumlah penyelidikan pada 2018 sebanyak 164, turun pada 2019 menjadi 142, turun lagi pada 2020 menjadi 111, dan sepanjang 2021 baru ada 41 penyelidikan.

“Sudah terjadi penurunan yang signifikan penyelidikan dan ini tampaknya yang memang diinginkan, belum lagi kasus-kasus misalnya mantan calon legislatif itu bisa buron dan tidak ketemu sampai sekarang. Padahal Ketua DPR Setnov (Setya Novanto) dan ketua partai bisa ditangkap oleh KPK di periode sebelumnya,” jelas Asfinawati.

Dalam diskusi yang sama, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menyoroti waktu pemecatan pegawai KPK yang bakal dilakukan pada 30 September 2021.

“Kenapa kok yang dipilih 30 S padahal sebelumnya dikatakan bahwa sampai November,” ujar Choirul Anam.

Dia ingin melontarkan pertanyaan tersebut kepada KPK jika diberikan kesempatan. Sebab, sebelumnya Komnas HAM menanyakan kepada KPK mengenai dipilihnya 1 Juni 2021 untuk pelantikan pegawai KPK yang beralih status menjadi ASN.

KPK pun membenarkan dipilihnya 1 Juni 2021 karena ada isu atau stigma mengenai taliban. Padahal, menurut Choirul, introduksi stigma apalagi secara terbuka seperti ini sangat berbahaya.

Dia pun mengatakan, pemilihan 30 September untuk memecat 56 pegawai KPK dapat menimbulkan imajinasi serta stigma bagi pegawai KPK yang dipecat. Sebab, waktu ini berkaitan dengan G30S atau Gerakan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965 yang diperingati setiap 30 September.

“Apakah memang pemilihan tanggal 30 September ini mengintrodusir satu stigma berikutnya, kalau ini memang mengintrodusir satu stigma berikutnya, betapa bahayanya negara ini,” kata dia.

Selain itu, dia mengatakan, alasan lain Komnas HAM menyampaikan rekomendasi mengenai TWK KPK kepada presiden pun, untuk menjawab terkait dipilihnya 30 September tersebut. Dalam catatan Komnas HAM, berbagai kejahatan, tindakan kekerasan, perampasan harta benda, merendahkan martabat orang, dan lainnya banyak lahir dari stigma.

“Seandainya ini dengan sengaja membangunkan imajinasi bahwa tanggal 30 ada sebuah peristiwa dan itu identik dengan PKI misalnya, betapa mesin stigma itu menjadi sesuatu yang sangat berbahaya di negeri ini,” tutur Choirul.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru