22.4 C
Indonesia

Museum Van Cortlandt Saksi Sejarah Perbudakan Di Kota New York

Must read

Kontributor Amerika Serikat, IndoGirlMovesAbroad
Kontributor Amerika Serikat, IndoGirlMovesAbroad
Dameria Hutabarat berdomisili di New York, Amerika Serikat dan mempunyai passion dalam traveling, voluntering dan aktif dalam komunitas.
Van Cortlandt Museum (Foto: Dameria Hutabarat/ THE EDITOR)

NEW YORK – Presiden Biden telah menandatangani rancangan undang-undang yang menetapkan 19 Juni sebagai Hari Kemerdekaan Nasional Juneteenth untuk memperingati akhir perbudakan di Amerika Serikat.

Perbudakan ras Afrika di Amerika Serikat sendiri dimulai di New York sebagai bagian dari perdagangan manusia oleh bangsa Belanda. Dan sejak tahun 1703, 42{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} rumah tangga di Kota New York telah memiliki budak untuk dijadikan pelayan rumah tangga dan buruh, dan sebagian lainnya “dipekerjakan” sebagai pengrajin atau kurir jasa pengiriman di berbagai area perdagangan kota.

Salah satu keluarga di New York yang menggunakan budak untuk kepentingan bisnis dan perawatan rumah tangga secara turun temurun adalah keluarga Van Cortlandt yang memiliki properti dan perkebunan di area barat Bronx.

Danau Van Cortlandt Park yang terletak di area Bendungan Tibbetts Brook (Foto: Dameria Hutabarat/ THE EDITOR)

Pada abad 17-an, Jacobus Van Cortlandt, saudagar dari Belanda yang tinggal di New York mempekerjakan para budak Afrika dan juga Indian tanpa bayaran untuk berladang di perkebunan gandum, kentang, dan jagung serta merawat peternakan di tanah yang Ia beli.

Di area perkebunan tersebut, para budak membangun mansion, danau, dan Bendungan Tibbetts Brook untuk menghasilkan tenaga air yang diperlukan untuk menggerakkan mesin penggergajian dan mesin penggilingan yang terletak di ujung selatan danau.

Dengan memiliki mesin penggilingan dan penggergajian sendiri Van Cortlandt bukan hanya mampu memproduksi hasil perkebunan mereka tetapi juga dapat menjual produknya dengan kualitas baik di pasar terbuka dan untuk kebutuhan ekspor. Dengan kata lain, para budak yang dipekerjakan membuat keluarga Van Cortlandt menjadi sangat kaya raya secara turun temurun.

Keluarga Van Cortlandt juga membantu pembangunan di kota New York dengan mengerahkan budak-budak yang mereka miliki untuk membangun jalan dan jembatan. Sebagai contoh, menurut peta inteligensia Inggris, jalan yang berada di Albany Post Road dan menuju area Yonkers, New York, sekarang ini adalah hasil jerih payah dari para budak yang ada di New York termasuk budak yang dimiliki oleh keluarga Van Cortlandt. Begitu juga dengan jembatan pertama yang menuju Pulau Manhattan yang dimiliki oleh Frederick Phillipse.

Menurut Cheyney McKnight seorang ahli sejarah pemilik IG: Notyourmommahistory yang ditemui oleh kontributor theeditor.co.id di Van Cortlandt Museum, pada era tersebut jika ada pembangunan jalan yang melewati area properti suatu keluarga, putra dari keluarga tersebut haruslah terlibat dalam pembangunan tersebut.

“Namun keluarga pemilik budak biasanya akan mengerahkan budak-budak mereka untuk berkontribusi tenaga dan bukan anak lelakinya,” ujar McKnight.

Diperlakukan Bak Properti dan Bukan Manusia

Sejarawan Cheyney McKnight sedang mengadakan tur di Van Cortlandt Museum (Foto: Dameria Hutabarat/ THE EDITOR)

Kepemilikan para budak juga diturunkan antar generasi. Setelah Jacobus Van Cortlandt meninggal, Ia mewariskan budak dan perkebunannya kepada anak satu-satunya, Frederick Van Cortlandt. Kemudian Frederick juga mewariskan harta dan budaknya kepada putranya, James Van Cortlandt dan keturunan selanjutnya.

Pekerja tanpa bayaran ini bukan hanya dipakai untuk berladang, namun keahlian mereka juga diperlukan untuk menggunakan mesin-mesin yang ada di area perkebunan. Istri dari Frederick Van Cortlandt, Frances juga memiliki budak-budak wanita yang digunakan untuk menjaga dan membersihkan rumah dan merawat dirinya. Frances juga mewariskan para budaknya kepada anak-anaknya.

Sejarawan, McKnight mengatakan bahwa pemilik budak juga bisa meminjamkan budak mereka untuk orang lain dan menuliskan perjanjian yang akan benar-benar menghukum berat si peminjam jika tidak merawat sang budak dengan baik. Namun, pemilik budak sendiri sering bersikap semena-mena kepada para budaknya.

Van Cortlandt pernah memasang iklan pencaharian budak yang lari dari salah satu usaha yang Ia miliki, di koran New York Gazzette pada tanggal 17 September 1733 yang memberikan deskripsi ciri-ciri seperti luka besar yang ada di tangan dan cara jalan yang pincang sebagai bagian dari penampilan dari budak ia cari.

Kekerasan kerap terjadi terhadap para budak. Sebagai bukti di area penguburan para budak, tulang-tulang mereka menunjukkan bahwa sebagian besar budak mati muda dan mengalami kekerasan dan siksaan secara fisik.

“Mayoritas budak di area ini didatangkan dari West Indies, dan saat diperjualbelikan, calon pembeli kebanyakan mengambil budak yang sudah terlatih dan secara mental telah dirusak dan secara disakiti agar tidak bisa melawan pada pemiliknya,” ujar McKnight.

Van Cortlandt Park Alliance (Foto: @vcpalliance/ Dameria Hutabarat/ THE EDITOR)

Pada tahun 1889, kepemilikan perkebunan Van Cortlandt beserta dengan rumah yang kini dikenal dengan Van Cortlandt Park dan Van Cortlandt Museum berakhir dan Augustus Van Cortlandt, saudara lelaki dari Frederick menjualnya ke kota New York.

Pada tanggal 19 Juni 2021, secara resmi Van Cortlandt Park telah menamai area penguburan orang-orang yang diperbudak dengan nama Enslaved Africans and Kingsbridge Burial Ground dan memberikan nama baru kepada danau yang berada di taman menjadi Hester and Piero Mill Pond yang merupakan nama dari dua orang budak yang pernah berkerja di area tersebut.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Artikel Baru