PURWAKARTA – Jalan ke langit, itulah yang pas untuk menggambarkan perjalanan melewati tapak besi ke puncak gunung. Kegiatan tersebut dinamakan via ferrata yang merupakan Bahasa Italia. Namun, meniti jalan ke langit bukanlah arti sebenarnya karena via ferrata artinya jalur besi yang merupakan salah satu jalur panjat tebing yang aman.
Di Gunung Parang, Purwakarta, Jawa Barat, terdapat beberapa lokasi panjat tebing via ferrata, Skywalker Gunung Parang adalah salah satunya. Dari lokasi yang dibangun sejak 2014 itu, pemandangan Gunung Bongkok (970 Mdpl), Gunung Lembu (668 Mdpl), dan Pasir Solasih (605 Mdpl) serta Waduk Jatiluhur bisa terlihat.
Tak sulit untuk menemukan penyedia jasa perjalanan agar bisa mencapai Gunung Parang. Dengan biaya Rp350.000 per orang, tersedia paket perjalanan open trip dengan peserta 10 orang. Biaya tersebut telah mencakup transportasi, makan siang, sewa perlengkapan yakni helm panjat tebing, seat harness dan tali pengait serta carabiner khusus.
Saat itu, saya berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 dan tiba di lokasi pada pukul 10.30. Sebelum perjalanan dimulai, semua peserta mengenakan peralatan khusus dan melakukan pemanasan singkat.
Setelah berjalan kaki sekira 10 menit mendekat ke Gunung Parang, akhirnya tiba di tapak pertama yang harus dilewati. Dari situ, pemandu memberitahu cara meniti tapak besi itu agar tetap selamat.
Pertama, pastikan tali keluar melewati pergelangan tangan, bukan berada di luar. Hal itu menjaga posisi tali agar tetap menyatu dengan tubuh. Kedua, pindahkan carabiner sebelum memindahkan badan ke tapak yang lebih tinggi. Ini dilakukan agar tetap aman saat meniti tapak besi.
Ketiga, tetapkan jarak aman dengan peserta lain. Keempat, membawa barang seperlunya di tas kecil sehingga perjalanan tetap nyaman. Penggunaan tabir surya, kacamata hitam dan sarung tangan dianjurkan agar perjalanan tak terganggu sinar matahari yang terik dan kasarnya permukaan tapak besi.
Perjalanan pun dimulai. Saya merasakan kaki dan tangan saya bergetar saat melangkah kaki ke tapak besi kelima. Meskipun masih dekat dengan daratan, terbersit kekhawatiran bila saya kelelahan dan tak mampu melanjutkan perjalanan.
Namun, saya acuhkan jantung yang berdebar kencang dan getaran di kaki serta tangan saya. Saya merasakan keringat mulai mengucur. Bukan hanya karena sinar matahari terasa semakin terik tetapi juga karena lelah mendorong kaki agar tetap melangkah, meniti tapak besi.
Ternyata seperti ini rasanya meniti jalan menuju langit yang bentuknya nyaris 90 derajat. Menariknya, terdapat jalan lain setelah saya terbuai dengan jalan lurus tertata. Tiba-tiba saya harus berpindah ke tapak besi yang letaknya tak simetris bahkan saya sulit menentukan tapak mana yang harus saya jadikan pegangan.
Apakah ini aman? Untungnya, jalan itu terlewati. Jalan lain yang menarik yakni horizontal dengan batu, rumput dan air. Di situ saya meredakan ketakutan saya dengan meneguk air putih sambil menghilangkan dahaga. Saat itu saya masih belum mau melihat pemandangan sekitar.
Perjalanan pun berlanjut ke jalur lurus menanjak. Kali ini, saya bersiap masuk ke ruang mirip gua. Ternyata di situlah kami beristirahat. Saya melihat permukiman dengan Waduk Jatiluhur terhampar di belakangnya.
Di tengah suasana yang menenangkan, betapa terkejut dan senangnya saya saat pemandu membawakan kami es teh manis. Es teh manis paling segar yang pernah saya minum di ketinggian sekira 500 meter dari permukaan.
Hal menantang belum berakhir. Setelah kami selesai beristirahat, perjalanan berlanjut. Kali ini, kami harus berjalan mundur menuruni tapak besi. Rasanya, jauh lebih menegangkan dibandingkan dengan menaikinya..
Ternyata, pemandu menggiring kami ke tempat khusus di mana kami bisa menuruni Gunung Parang lebih cepat. Saat itu, saya menjadi yang ketiga menuruni gunung. Tali dipasang ke seat harness saya. Pemandu telah meyakinkan saya bahwa itu semua aman.
Kuncinya, hanya berjalan mundur dan membuat badan lebih tenang. Awalnya, saya tak percaya, tetapi akhirnya saya memahami apa yang dimaksud. Kendati terbersit ketakutan, saya akhirnya mulai menuruni gunung.
Dengan seutas tali yang terikat, saya berjalan mundur menuruni gunung. Perlahan saya bisa mengubah rasa takut menjadi rasa rileks menikmati tiupan angin. Namun ternyata rasa rileks saya berubah kembali khawatir saat tiba-tiba saya terjatuh karena ternyata saya menyentuh permukaan cekung.
Saya pun sontak berteriak namun saya masih mendengar suara pemandu yang meminta saya kembali berjalan. Tak lama, saya pun melihat daratan semakin dekat. Saya sampai di permukaan dengan tangan dan kaki yang masih bergetar karena tak percaya saya bisa melewati medan yang menantang itu.
Bagi kami pengalaman ini baru dan begitu menyenangkan meskipun terdapat rasa khawatir sebagai bumbunya. Namun, saya terbayang bila harus menjadi pemandu yang berpura-pura terkejut untuk hal yang dilakukannya terus-menerus yakni melihat betapa terkejutnya kami selama di perjalanan.
Lalap, sambal, nasi hangat, ayam goreng, tempe goreng dan sayur asem menjadi penutup perjalanan kami. Meski sempat hujan, untungnya perjalanan kami telah selesai sebelum hujan turun.