JAKARTA – Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang mengaku disindir oleh teman akrabnya yang berkewarganegaraan Singapura tentang kebiasaan Indonesia mengimpor beras dari negara tentang kebijakan impor beras Indonesia mendapat respon dari Professor Sahid Susanto dari Universitas Gadjah Mada.
Sebelumnya, Menteri Tito bercerita tentang pengalamannya saat berbincang dengan rekan kuliahnya di Singapura. Saat itu, teman Tito mengatakan bila Indonesia memiliki segala syarat untuk menjadi negara besar tetapi tidak dengan masyarakatnya.
Baca: Mendagri Curhat Karena Disindir Singapura, Indonesia Banyak Sawah Tapi Krisis Beras
“Tapi apa Singapura tahu betapa besarnya kebutuhan beras kita,” ungkap pria yang merupaka seorang Ahli Manajemen Sumberdaya Air ini kepada The Editor melalui pesan WhatsAap pada Rabu (18/6) kemarin.
Diakui Sahid bila pernyataan sahabat Mendagri Tito tersebut memang sebuah sindiran. Dan, ia akui juga bila pernyataan tentang Indonesia suka mengimpor beras itu benar.
“Untuk menyindir kalau negeri ini sukanya impor beras. Ada benarnya,” ungkapnya.
Namun, yang Singapura tidak tahu, lanjutnya, beras merupakan komoditi yang sangat sensitif di Indonesia. Bahkan, berhubungan dengan stabilitas politik.
Singapura Hanya Makan Roti dan Gandum
Indonesia yang berpenduduk sekitar 280 juta orang memiliki kebiasaan makan nasi sebagai kebutuhan utama akan karbohidrat mereka sehari-hari.
Sementara Singapura, lanjut Professor Sahid, hanya berpenduduk sekitar 9 juta orang dengan roti dan gandum sebagai menu sehari-hari.
“Gandumnya (Singapura) juga diimpor,” kata Professor Sahid.
Indonesia, kata Professor, saat ini hanya memiliki lahan irigasi seluas 7 juta hektar.
Lahan ini menurutnya belum cukup untuk menyediakan pangan, terutama beras untuk 280 juta penduduknya.
Indonesia Harus Tetap Produksi Pangan Sendiri
Meski demikian, Professor Sahid mengatakan bila Indonesia harus tetap memproduksi pangan mereka sendiri sebagai bukti negara yang berdaulat.
Namun, ia mengingatkan bila tidak satupun negara di dunia ini yang mampu mencukupi kebutuhan pangan negerinya sendiri.
Dan, Indonesia, menurut Professor Sahid harus berkomitmen tinggi memproduksi pangan sebesar mungkin dan membatasi impor.
“Siapapun presidennya harus ya ada komitmen tinggi untuk bisa memproduksi pangan sebesar mungkin. Impor harus dibatasi,” ungkapnya.
Bagaimana Caranya Agar Tidak Impor?
Professor Sahid mengatakan satu-satunya cara agar Indonesia tidak mengutamakan impor adalah dengan menerapkan UU Pangan.
“Yang bisa memotong benefit ekonomi itu ya hanya law enforcement,” tandasnya.