JEPANG – Jepang, salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia dan sering disebut sebagai negara maju ternyata tidak bisa menghargai perempuan.
Kondisi ini sangat memprihatinkan karena di tengah dunia yang tengah mendorong posisi kepemimpinan agar dipegang oleh perempuan, namun Jepang tidak demikian. Target ambisius dunia yang dimulai tahun 2015 agar 30 persen wanita menduduki posisi puncak ternyata dijawab pahit oleh Jepang. Dan pelecehan terhadap wanita di negeri sakura ini terjadi hampir di setiap lini dan waktu.
Beban Diberikan Pada Wanita Bukan Solusi
Hiroki Komazaki, pendiri dan CEO Florence, sebuah organisasi nirlaba yang menganjurkan solusi yang membantu orang tua yang bekerja, mengatakan bahwa usai Perang Dunia II, Jepang lebih memposisikan laki-laki sebagai pekerja di perusahaan dan wanita harus bertindak sebagai seorang ibu yang tinggal di rumah. Kebijakan ini, kata Hiroki seperti dirilis dalam BBC, mendapat dukungan besar dari pemerintah saat itu.
Akibatnya, dorongan ini melahirkan norma di mana suami bekerja dalam waktu yang sangat lama, sementara pekerjaan rumah dan mengasuh anak masih menjadi tanggung jawab utama para istri. Survei nasional terbaru pemerintah pada tahun 2020 menunjukkan bahwa seorang wanita masih melakukan pekerjaan rumah 3,6 kali lebih banyak dari pada pria di Jepang.
Karena norma-norma ini, serta bias perekrutan di beberapa perusahaan, dan budaya kerja yang tahan terhadap perubahan maka banyak perempuan berhenti bekerja setelah memiliki anak, atau lebih memilih pekerjaan paruh waktu atau kontrak yang umumnya tidak mengarah pada promosi.
Sistem kerja semacam ini pada akhirnya juga berdampak pada pertumbuhan populasi. Beberapa wanita di Jepang harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus berhenti bekerja bila memiliki anak. Sebagian diantara mereka bahkan meninggalkan karir impian mereka dan pindah ke karir yang lain karena memiliki anak.
Dukungan Pemerintah Agar Wanita Berkarir Baru Muncul Di Tahun 2015
Angka kelahiran di Jepang berada pada rekor terendah. Selain itu, angka pernikahan juga merosot karena pria di Jepang khawatir tidak mampu menghidupi keluarga mereka hanya dengan gaji.
Karena berdampak pada krisis demografi, maka pemerintah mengubah aturan dengan meminta wanita agar mau memiliki anak dan bekerja di waktu yang bersamaan. Kebijakan ini diambil karena saat ini angkatan kerja juga menyusut di negara ini.
Maka dari sanalah muncul kebijakan Womenomics, serangkaian kebijakan yang diperkenalkan pada tahun 2015 oleh perdana menteri Shinzo Abe. Saat itu, Ia berjanji akan menciptakan masyarakat di mana perempuan bisa mencapai karirnya hingga posisi puncak.
Namun para kritikus menilai kebijakan tersebut lebih tentang mendorong perempuan agar mau kembali ke tempat kerja demi membantu perekonomian negara yang turun. Karena negara tidak menyelesaikan persoalan pengasuhan anak bila perempuan mulai bekerja.
“Itu karena Jepang tidak mendorong kesetaraan gender,” kata jurnalis Toko Shirakawa, yang telah banyak menulis tentang penurunan angka kelahiran di Jepang.
“Pemerintah hanya mendorong penambahan jumlah pemimpin perempuan, tanpa menawarkan perubahan atau dukungan yang mendasar. Akhirnya ini hanya menjadi beban baru bagi perempuan,” ungkapnya.
Hanya sedikit perubahan yang berarti dalam isu perbaikan hak perempuan di Jepang. Laporan Kesenjangan Gender Global 2021 dari Forum Ekonomi Dunia menempatkan Jepang pada peringkat 120 dari 156 negara dalam hal kesetaraan gender, turun 40 peringkat dibandingkan peringkat 2006.
Meskipun lebih banyak wanita yang benar-benar bergabung dengan angkatan kerja, banyak yang tetap bekerja paruh waktu atau non-karir yang tidak memungkinkan mereka untuk mengakses pekerjaan teratas.
Di sektor swasta, jumlah manajer perempuan naik menjadi 7,8{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} pada tahun 2019. Namun angka tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan oleh pemerintah, yakni 30 persen. Diam-diam pemerintah Jepang menambah capaian target ini hingga tahun 2030 mendatang.
Sementara itu dalam politik, partisipasi perempuan hanya 9,9 persen di parlemen. Karena kondisi ini Jepang menduduki peringkat 166 dari 193 negara yang hanya memberi ruang kecil bagi perempuan.
Akibat situasi ini, pria masih mendominasi bisnis dan kepemimpinan politik di Jepang. Negara ini sangat lamban mengeluarkan aturan yang berpihak pada perempuan. Bahkan di beberapa tempat kebencian pada perempuan terus bertambah.